Banner

Thursday, December 29, 2022

Wali Paidi (Eps.10)

Terlihat di sudut terminal, orang gila itu tertawa cekikikan menikmati makanan dan minuman hasil rampasan dari Wali Paidi.

Melangkah lambat, Wali Paidi mendekati orang gila tersebut. Sekitar jarak 10 meter, sambil makan dan minum, orang gila itu berkata.

"Tak usah heran Di, orang yang dekat dengan Tuhannya, apa sih yang tidak diketahui di muka bumi ini. Yang diketahui oleh Gusti Allah juga diketahui oleh para kekasih-Nya, apalagi namamu, yang sudah terkenal di langit sana. Namamu seringkali muncul karena keseringan cerewet dan usul ke Gusti Allah".

Minuman Sprite kaleng masih diminum si orang gila tersebut.

"Para malaikat sering berkata, Gusti, Wali Paidi usul begini, Gusti, Wali Paidi minta begini. Gara-gara sering usul itu, hampir semua malaikat mengenalmu. Karena seringnya kamu minta dan usul ke Gusti Allah, seharusnya kamu malu Di! Wali kok minta-minta terus seperti pengemis begitu. Ha ha ha...."

Wali Paidi terdiam seperti tengah ditelanjangi, Ia menghampiri orang gila tersebut dan mencium tangannya. Wali Paidi kaget karena ketika dipegang, tangan orang gila berambut gimbal itu seperti tidak bertulang, terasa halus, begitu lembut dan baunya sangat wangi.

Sementara itu, ketika Wali Paidi hendak menanyakan nama, orang gila itu buru-buru berkata:

"Kamu tak usah tahu namaku. Sudah sana, kamu pergi sowan ke kiaimu. Nanti kita bertemu di sana. Dan kalau kamu melihat kiaimu sedang ada tamu agung, kamu sebaiknya langsung pamit saja," saran sang gila itu hanya disambut anggukan oleh Wali Paidi.

"Kok dia tahu ke mana tujuanku". Makin bingung. Tapi dia hanya membatin saja. Menyimpan penasaran.

Setelah pamit salam, Wali Paidi pergi dari situ melanjutkan sowan ke kiainya pakai becak. Sesampainya di ndalem kiai, Wali Paidi langsung menuju ruang tamu. Ia disambut salah satu santri abdi dalem kiai yang memang bertugas melayani para tamu yang datang.

Belum lama duduk, ada dua laki-laki lain yang juga hendak sowan ke kiai. Mereka berdua duduk disamping Wali Paidi. Tak seperti biasanya, kali ini kiai tidak langsung menemui mereka bertiga. Wali Paidi dan kedua tamu lainnya menunggu lama. Sekitar satu jam kemudian, kiai baru keluar menemui di ruangan.

Wali Paidi dan kedua tamu langsung bersalaman dengan kiai, cium tangan penuh ta'dzim. Saat itulah Wali Paidi tampak sangat ta’dzim berhadapan dengan kiai melebihi ta'dzimnya di hari-hari biasa. Ia hanya bisa menunduk di hadapan kiai. Butiran air mata tiba-tiba mulai membasahi pipi.

Baru saja duduk, Wali Paidi malah mohon pamit dan bersalaman lagi ke kiai, minta doa restu. Kiai hanya tersenyum.

"Iya Di, rapopo, salam saja ke dulur-dulur semua," begitu dawuh kiai.

"Inggih kiai". Wali Paidi masih saja menunduk, tidak berani menatap wajah gurunya yang sangat meneduhkan itu.

Tentu kedua tamu yang bersamanya tadi heran melihat sikap Wali Paidi. Mereka sudah menunggu begitu lama di ruang tamu, namun begitu kiai keluar, Wali Paidi justru langsung mohon pamit. Penasaran, salah satu di antara mereka akhirnya menanyakan kepada kiai.

"Mas tadi itu menunggu panjenengan bersama kami begitu lama. Tapi setelah kiai datang, dia langsung mohon pamit, boleh tahu kenapa, kiai?"

"Hmm, gimana yah, kamu langsung saja ke orangnya dan tanyakan hal itu. Dia belum pergi jauh. Sekarang dia sedang duduk-duduk di pagar jembatan sebelah sana".

Setelah mohon ijin dan keluar sebentar, tamu itu nekad mencari Wali Paidi, mengejarnya. Dan benar apa yang dikatakan kiai, Wali Paidi masih duduk di pinggir jembatan yang dimaksud.

"Assalamuailaikum, maaf mas, saya penasaran dengan sikap sampeyan tadi. Kok langsung mohon pamit ketika baru ketemu kiai". Ia hanya dijawab salam oleh Wali Paidi. Makin nampak berkaca-kaca matanya, setengah menangis.

"Gimana tidak langsung mohon pamit kang, wong di samping kanan kiai ada Baginda Rasulullah shallahu alaihi wa sallam dan di samping kiri kiai ada Nabiyullah Khidir alaihis salam, apa yang mau saya omongkan kalau beliau berdua hadir di samping kanan dan kiri kiai. Saya tidak berani melihat nur cahaya dua Nabi Allah tersebut".

Tamunya setengah tidak percaya, tapi dia hanya melongo. "Kok mas ini tahu ada Rasulullah dan Nabi Khidzir ada di samping kiai," gumamnya. Ia buru-buru kembali ke ndalem kiai, tapi kedua orang yang ada di samping kiai sudah tidak ada lagi.

Wali Paidi terus menerawang, jangan-jangan orang gila yang merampas tas kresek berisi makanan dan minuman pemberian Gohell dari terminal tadi adalah Nabi Khidzir. Cirinya jelas, tangannya tidak bertulang. Jarinya lembut, tidak bisa digunakan untuk "njempol" (tanda pujian Top) yang tidak pantas dipakai untuk memuji selain kepada Allah.

Ia semakin yakin orang gila tersebut adalah Nabi Khidzir karena tadi sempat bilang begini, "Nanti kita bertemu di sana. Dan kalau kamu melihat kiaimu sedang ada tamu agung, kamu sebaiknya langsung pamit saja".

Wali Paidi mengikuti saran orang gila itu. Tunduk dan malu telah menyadarkan Gohell, yang bisa mengakibatkan hatinya muncul kesombongan. Padahal hidayah seorang hamba hanya diberikan atas kehendak Allah. Dipaksa pakai penthungan pun, kalau hidayah belum turun, tak akan berhasil. Apalagi dengan demo yang sangat cerewet.

Bersambung...

Saturday, December 03, 2022

Wali Paidi (Eps.9)




Anak buah Gohell yang berjumlah tujuh orang ini lebih heran lagi melihat pemimpin mereka terduduk dan menangis tersedu-sedu dihadapan wali Paidi, tanpa dikomando mereka mendekati pimpinan mereka dan membuat pagar betis melingkari wali Paidi dan Gohell, mereka berdiri melingkar menutupi mereka supaya orang-orang tidak tahu kalau pimpinan mereka menangis, mereka malu kalau orang-orang melihat pimpinan mereka menangis, masak pimpinan preman kok nangis…(he..he..he..)

Wali Paidi menepuk-nepuk pundak Gohell, dan menariknya untuk berdiri lalu berkata:

“Udah mas, aku sama sampeyan ini masih saudara jadi gak usah sungkan…”

Gohell berdiri dan mengusap air matanya, kemudian merangkul wali Paidi

“Makasih mas…” ucap Gohell kepada wali Paidi.

Mereka lalu bersalaman diikuti seluruh anak buah Gohell juga bersalaman kepada wali Paidi. Suasana menjadi cair kembali, tidak lama kemudian suasana jadi akrab, seakan wali Paidi dan gerombolan Gohell ini adalah teman yang sudah lama kenal, karena wali Paidi ini pintar mengeluarkan joke-joke segar yang membuat Gohell dan anak buahnya tertawa terpingkal-pingkal.

“Ayo ngopi dulu mas….” Ajak Gohell kepada wali Paidi.

“Monggo…..” jawab wali Paidi.

Mereka berdua dan seluruh anak buah Gohell menuju ke warung dipinggir jalan, setelah mengambil tempat duduk mereka memesan kopi, anak buah Gohell menunggu diluar warung.

“Mas kalo bisa sampeyan berhenti malak orang, kasihan gurumu mas…” ucap wali Paidi.

“Iya mas, saya akan berusaha mencari kerja yang bener, do’akan aja…” sahut Gohell.

“Jangan sampai perguruan sampeyan Setia Hati (SH) itu menjadi singkatan Perguruan Sakit Hati, gunakan kepandaian silatmu itu sebagai senam untuk kesehatan, itu yang cocok untuk jaman sekarang ini, beda dengan jaman ketika orang islam masih punya musuh dulu, jangan belajar silat untuk mencari kesaktian atau untuk perisai diri,
karena perisai diri yang lansung dari Allah adalah shodaqoh, belajarlah silat hanya untuk kesehatan, maka kamu tidak akan mencari musuh atau dicari musuh…” kata wali Paidi.

Sambil nyeruput kopinya wali Paidi berkata lagi kepada Gohell:

“Kalo belajar silat untuk mencari kesaktian atau kekuatan jadinya ya seperti ini, sesama saudara seperguruan tawur, tidak rela melihat perguruan lain unjuk kekuatan, seperti kemarin terjadi penyerbuan terhadap konvoi perguruan kera sakti yang diduga dilakukan oleh perguruan Setia Hati…”

“Iya mas, memang aku dulu belajar ilmu silat untuk mencari kesatian/ kekuatan, setelah lulus aku bingung gimana cara melihat kalau aku ini sudah kuat, akhirnya aku mencari gara-gara supaya punya musuh dan keterusan sampai jadi seperti sekarang ini..” ucap Gohell sambil menunduk.

Setelah ngobrol-ngobrol yang cukup lama Gohell ini akhirnya terbuka hatinya, mengerti tentang apa arti hidup ini, mengerti manusia itu tinggal menjalankan peran dari Allah, mengerti akan dirinya berperan sebagai apa dan menjalankan sebaik-baiknya peran tersebut, ada yang berperan sebagai ulama, guru, pedagang, petani, dll, hanya ketaqwaan kepada Allah yang dinilai dari menjalankan peran tersebut.

“Terus sampeyan sekarang mau kemana?“ tanya Gohell kepada wali Paidi.

“Mau ke terminal “ jawab wali Paidi singkat.

“Hehehe... maksudku tujuan sampeyan dari terminal?“ tanya Gohell lagi.

“Mau sowan kepada salah satu guruku…” jawab wali Paidi

“Kalau begitu mari saya antar“ Gohell menawari wali paidi

“Baiklah, ayo…” ucap wali Paidi

Gohell mendekati pemilik warung dan menanyakan habis berapa semuanya, pemilik warung terdiam merasa heran dengan sikap Gohell, karena biasanya Gohell ini kalau makan minum di warungnya tidak pernah bayar, pemilik warung tersebut sangat gembira dengan perubahan sikap Gohell ini.

“Udah gak usah bayar mas, anggap saja ini sebagai selamatan buat mas, selamatan kalau sampeyan telah terlahir kembali, mudah-mudahan tobat sampeyan ini sebagai taubatan nasuha...” ucap pemilik warung kepada Gohell.

Setelah mengucapkan terimakasih Gohell mengantarkan wali Paidi ke terminal, dalam perjalanan Gohell menanyakan perihal tentang orang-orang sholeh yang di ketahui wali Paidi, wali Paidi menceritakan dengan singkat perihal mereka, tentang sifat dan kelebihan para orang-orang sholeh tersebut, tidak begitu lama akhirnya mereka sampai keterminal, Gohell memanggil salah satu anak buahnya dan membisikkan sesuatu kepadanya, lalu anak buahnya itu pergi.

“Jangan berangkat dulu mas, tunggu sebentar” kata Gohell kepada wali Paidi.

Tidak begitu lama anak buah Gohell itu datang sambil menyerahkan sesuatu kepada Gohell, lalu Gohell mendekati wali Paidi dan menyerahkan sesuatu kepada wali Paidi.

“Ini mas tolong jangan ditolak“ ucap Gohell kpd wali Paidi.

Ternyata sesuatu tersebut didalamnya ada uang ribuan yang sebagian sudah kumal, dan ada 2 atau 3 uang lima ribuan, wali Paidi terkejut ketika menerima uang dari Gohell tersebut.

“Jangan kuatir mas, itu bukan uang haram, itu uang sumbangan dari teman-teman, dan saya minta dengan sangat jangan ditolak“ jelas Gohell kpd wali Paidi.

Wali Paidi menerima pemberian Gohell tersebut, setelah bersalaman wali Paidi naik ke atas bus, masih banyak bangku kosong, wali Paidi mencari tempat yang enak buat duduk, akhirnya wali Paidi memilih tempat ditengah, setelah bus baru berjalan tampak pedagang rokok naik ke atas bus menjajakan dagangannya, ketika wali Paidi hendak memanggilnya sipedagang tersebut sudah menghampiri wali Paidi dan menyerahkan sebungkus rokok Dji Sam Soe dan berkata:

“Ini pemberian dari mas Gohell sebagai rasa terimakasih.”

Begitu juga dengan pedagang-pedagang yang lain, di dalam perjalanan mereka semua mengasihkan satu barang dagangannya kepada wali paidi atas nama Gohell, mulai penjual minuman sampai penjual kacang, bahkan penjual bollpoint dua ribu dapat 3 juga menyerahkan bollpointnya atas nama dan rasa terimakasih Gohell kepada wali Paidi, ketika wali Paidi mau membayar karcis bus, pak kondektur juga membebaskan wali Paidi atas nama Gohell juga, wali Paidi hanya geleng-geleng kepala.0

“Gendeng, sholeh ini….” bathin wali Paidi tersenyum sambil teringat wajah Gohell.

Sekitar dua jam perjalanan, wali Paidi akhirnya sampai disebuah kota yang dulunya adalah sebuah wilayah kerajaan Majapahit, wali Paidi turun sambil membawa satu kresek besar yang berisi minuman dan makanan ringan pemberian dari pedagang-pedagang asongan di atas bus, baru melangkah turun dari bus wali Paidi lansung dihampiri seorang gila yang berambut gimbal, orang gila tersebut langsung menarik-narik tas kresek wali Paidi.

“Di... Paidi… sini minuman dan makanan ini punyaku...” ucap orang gila tersebut, lalu ngeloyor pergi.

Wali Paidi membiarkan saja tas kreseknya direbut, dan dia hanya terus mengikuti orang gila tersebut karena dia penasaran, orang gila ini kok tahu namanya….

Bersambung...

Wali Paidi (Eps.12)

Gus Dur menerima dengan lapang dada isyarah yang ditafsirkan Kiai Rohimi. Gus Dur tidak peduli jika dalam kepimpinanya kelak, akan direcoki ...