Banner

Monday, May 15, 2006

Berpakaian Tetapi Telanjang


Dua golongan di antara penghuni neraka yang belum aku lihat keduanya: suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul orang-orang; perempuan yang berpakaian, tetapi telanjang yang cenderung dan mencenderungkan orang lain, rambut mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium aroma surga. Sesungguhnya aroma surga itu bisa tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian. (HR Muslim)
Imam Muslim meriwayatkannya dari Zuhair bin Harb, dari Jarir, dari Suhail dari bapaknya (yakni Abu Shalih), dari Abu Hurairah.1 Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam Shahîh-nya dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya.2
Meski menggunakan redaksi berita, hadis ini bermakna thalab li-tark (tuntutan untuk meninggalkan) perbuatan atau karakter yang diberitakan. Ungkapan min ahl an-nâr merupakan qarînah (indikator) bahwa karakter atau perbuatan yang digambarkan setelahnya merupakan sesuatu yang haram, bahkan lebih ditegaskan dengan ungkapan bahwa mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium aroma surga, sekaligus menunjukkan betapa besar dosanya.
Dua golongan penghuni neraka itu adalah:
Pertama, kaum yang membawa cambuk yang mereka gunakan untuk memukul orang-orang. Ini merupakan perumpamaan dari para pemimpin diktator (al-jabbârûn) dan kaki tangannya. Mereka menyengsarakan dan menzalimi orang-orang atau rakyat.
Kedua, nisâ'[un] kâsiyât[un] 'âriyât[un] mâ'ilât[un] mumîlât[un] (wanita yang berpakaian tetapi telanjang yang cenderung dan mencenderungkan orang lain). Frase kâsiyât[un] 'âriyât[un] (berpakaian tetapi telanjang) menurut Imam an-Nawawi memiliki beberapa makna, baik secara majazi maupun hakiki.3
  • Pertama: berpakaian (dibungkus) oleh nikmat Allah, tetapi telanjang dari syukur kepada-Nya.
  • Kedua: berpakaian, yakni terbungkus dengan pakaian, tetapi telanjang dari perbuatan baik dan perhatian terhadap kehidupan akhirat serta tidak berbuat taat.
  • Ketiga: mengenakan pakaian tetapi tampak sebagian anggota badannya untuk menampakkan kecantikannya. Mereka itu berpakaian tetapi telanjang.
  • Keempat: mengenakan pakaian tipis yang masih memperlihatkan warna kulitnya dan bentuk tubuhnya. Mereka ini berpakaian tetapi telanjang.
    Makna keempat ini juga yang dipilih oleh Ibn Abdil Bar.4

Frase mâ'ilât[un] mumîlât[un] sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi maknanya:

  • Pertama, menyimpang dari ketaatan kepada Allah dan keharusan menjaga kemaluan. Ia juga mendorong wanita lain melakukan perbuatan seperti perbuatan mereka.
  • Kedua, mâ'ilât[un], yaitu wanita yang memperindah gaya jalannya dan menggoyangkan bahu mereka.
  • Ketiga, mâ'ilât[un], yakni memakai tanda serupa sisir yang miring, yang merupakan sisir tanda pelacur yang dikenal untuk mereka. Mumîlât[un] yang memakaikan tanda serupa sisir itu kepada wanita lainnya. Artinya, ia bisa kita maknai sebagai wanita yang memakai dan memakaikan kepada wanita lain, pakaian, perhiasan atau asesoris yang dikenal sebagai tanda atau ciri wanita yang suka melacur.
  • Keempat, mâ'ilât[un], yakni wanita yang cenderung kepada laki-laki dan memikat atau menarik perhatian laki-laki dengan perhiasan, kecantikan, atau keindahan anggota tubuh yang mereka tampakkan atau mereka perlihatkan.
    Adapun frasa ru'ûsuhunna ka-asnamah al-bukht al-mâ'ilah (kepala mereka seperti punuk unta yang miring) maknanya: Pertama, membesarkan kepala dengan kerudung atau serban dan sebagainya yang disambungkan atau ditumpuk di atas rambut sehingga menjadi seperti punuk unta.

Inilah tafsir yang masyhur untuk frasa ini. Ia bisa juga dimaknai: menarik rambut ke atas atau menata rambut sedemikian rupa sehingga seperti punuk unta. Makna hadis ini saling menjelaskan dan melengkapi dengan riwayat Abu Musa al-'Asyari, bahwa Rasul saw. pernah bersabda: Perempuan siapa saja yang memakai wangi-wangian lalu berjalan melewati suatu kaum supaya mereka mencium bau wanginya maka perempuan itu seperti seorang pezina (HR an-Nasai, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, ad-Darimi, Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban dan al-Baihaqi).

Bahkan ketika hendak pergi ke masjid untuk beribadah atau shalat, wanita tetap dilarang memakai wewangian dan tercium oleh orang di sekitarnya. Abu Hurairah menuturkan: Suatu ketika seorang perempuan lewat di depannya dan bau wanginya tercium terbawa angin. Ia pun bertanya, "Hendak ke mana saudari? Wanita itu menjawab, "Ke masjid." Ia berkata, "Anda memakai wewangian?" "Benar," jawab wanita itu. Ia berkata: Kembalilah dan mandilah sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
Allah tidak akan menerima shalat dari seorang wanita yang keluar ke masjid sedangkan aroma wanginya tercium terbawa hembusan angin hingga ia kembali dan mandi (yakni seperti mandi karena junub).
(HR Ibn Khuzaimah dan al-Baihaqi).

Allâhumma waffiqnâ ilâ al-haqq wa al-'amal li thâ'atik. [Yahya Abdurrahman].

Catatan Kaki:

  1. Imam Musim, Shahih Muslim, III/1680 dan IV/2192, Dar Ihya' at-Turats al-'Arabi, Beirut. tt.
  2. Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad, II/440, hadits no. 9678, Muassasah Qurthubah, Mesir, tt; dan Ibn Hibban, Shahîh Ibn Hibbân, XVI/500-501, hadis no. 7461, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. ii. 1993
  3. Lihat: An-Nawawi, Syarh an-Nawâwî li Shahîh Muslim, XVII/190-191, Dar Ihya' at-Turats al-'Arabi, Beirut, cet. ii. 1392.
  4. Lihat: Ibn 'Abdil Bar, At-Tamhîd li Ibn 'Abd al-Bar, XIII/204, Wuzarah al-'Umum al-Awqaf wa asy-Syu'un al-Islamiyah, Magrib, 1387.

Aurat


Awrat (aurat) adalah masdar dari 'âra-ya'ûru-'awran wa 'awratan; jamaknya 'awrât. Aurat memiliki beberapa arti: aib, cacat, atau cela; celah-celah suatu tempat; semua hal yang dirasa malu. Ar-Razi mengatakan, aurat adalah segala perkara yang dirasa malu jika tampak.1

Al-Quran menyatakan kata aurat ('awrah) dua kali dalam satu ayat (QS al-Ahzab [33]: 13): Inna buyûtanâ 'awrah wa mâ hiya bi 'awrah. Maknanya sesuai dengan makna bahasanya, yaitu tempat atau celah yang terbuka atau tak terlindung dan dikhawatirkan.

Kata 'awrât (jamak dari 'awrah) juga dinyatakan dua kali dalam al-Quran (QS an-Nur [24]: 31 dan 58). Pada ayat 58, kata tsalâtsu 'awrât maknanya adalah tiga waktu yang layak tampak aurat di dalamnya2 atau tiga waktu yang biasanya wanita melepaskan pakaiannya atau mengganti pakaian biasa dengan pakaian tidur atau sebaliknya, yaitu: waktu sebelum shalat fajar/subuh; waktu zuhur/waktu orang menanggalkan pakaiannya; dan setelah shalat isya. Tiga waktu ini disebut 'awrah. Pada tiga waktu tersebut, anak-anak yang belum balig dan pembantu atau hamba sahaya-apalagi selain mereka, kecuali suami atau istri-harus mengucapkan salam tiga kali dan meminta izin untuk masuk.

Aurat Laki-laki

Para ulama berbeda pendapat tentang aurat laki-laki. Menurut sebagian, aurat laki-laki hanya dubur dan kemaluan; paha tidak termasuk aurat. Menurut mayoritas, aurat laki-laki adalah antara pusar dan kedua lutut, sementara pusar dan lutut tidak termasuk aurat. Siwar bin Dawud menuturkan riwayat dari Amru bin Syuaib, dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Jika salah seorang dari kalian menikahkan hamba sahaya atau pegawainya, janganlah ia melihat sesuatupun dari auratnya, karena sesungguhnya apa yang ada di bawah pusar sampai kedua lututnya merupakan auratnya. (HR Ahmad).

Hadis yang sama diriwayatkan dengan redaksi sedikit berbeda oleh al-Baihaqi dan ad-Daruquthni. Terdapat beberapa riwayat yang menyatakan bahwa paha adalah aurat. Namun, ulama hadis berbeda pendapat. Sebagian menilai sahih atau hasan; sebagian lain menilainya lemah.

Muhammad bin Jahsyi menuturkan: Aku pernah bersama Rasul melewati Ma'mar, sedangkan kedua pahanya terbuka, lalu Rasul bersabda: Wahai Ma'mar, tutupi kedua pahamu, sesungguhnya kedua paha itu aurat. (HR Ahmad, al-Hakim, dan al-Baihaqi).

Jarhad al-Aslami menuturkan, ia sedang di masjid, lalu Nabi saw. datang dan memandangnya, sementara pahanya terbuka, lalu Nabi bersabda: Sesungguhnya paha termasuk aurat. (HR. al-Hakim dan ia mensahihkannya). Ibn Abbas juga menuturkan hadis dengan konotasi yang sama, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi, dan al-Baihaqi.

Mereka yang menilai paha bukan aurat mendasarkannya pada riwayat Anas, bahwa pada Perang Khaibar: Izar terbuka dari kedua paha Nabi saw. dan sungguh aku dapat melihat putihnya kedua paha Nabi Allah. (HR Ahmad dan Bukhari).
Aisyah juga menuturkan: Rasul sedang duduk dan tersingkap pahanya. Lalu Abu Bakar meminta izin dan Beliau tetap dalam keadaan itu. Kemudian Umar meminta izin dan Beliau juga tetap dalam keadaan itu, kemudian Ustman meminta izin, lalu Rasul mengulurkan pakaiannya, ketika mereka berdiri. Aku (Aisyah) bertanya, "Wahai Rasulullah, Abu Bakar dan Umar meminta izin dan engkau izinkan, sedangkan engkau dalam keadaanmu itu. Ketika Utsman meminta izin engkau ulurkan pakaianmu." Rasul menjawab, "Wahai Aisyah, apakah aku tidak merasa malu dari seorang laki-laki yang, demi Allah, malaikat pun merasa malu kepadanya?" (HR Ahmad).

Kaidah ushul menyatakan: I'mâl dalîlayn awlâ min ihmâl ahadihimâ (Mengamalkan dua dalil lebih utama dari pada mengabaikan salah satunya). Lalu bagaimana mendudukkan kedua kelompok hadis yang terlihat bertentangan di atas?

Dalam riwayat Muslim di atas, terdapat kemungkinan antara paha atau betis, sedangkan betis secara ijmak bukan termasuk aurat laki-laki. Dengan adanya kemungkinan itu, argumentasi dengan hadis tersebut untuk menyatakan paha bukan aurat gugur.

Menurut ketentuan ushul, perkataan dan perintah lebih kuat dibandingkan dengan perbuatan (dalam menunjukkan konotasi atau tuntutan). Hadis-hadis yang menunjukkan aurat laki-laki antara pusar dan lutut-termasuk paha-merupakan perkataan dan perintah Rasul saw. Adapun hadis mengenai terbukanya paha Rasul mendeskripsikan perbuatan Beliau. Perbuatan Beliau sendiri tidak bisa menggugurkan perkataan dan perintah Beliau. Menurut asy-Syaukani, tidak terdapat dalil secara khusus tentang meneladani Beliau semisal perbuatan itu. Juga tidak terdapat riwayat bahwa Anas, Abu Bakar dan Umar meneladaninya dengan berbuat seperti Beliau. Dengan demikian, yang wajib adalah berpegang pada perkataan dan perintah Beliau.

Menurut ketentuan ushul, jika terdapat pertentangan antara perkataan dan perintah Rasul dengan perbuatan Beliau maka perbuatan Beliau itu harus dibawa sebagai kekhususan bagi Beliau, sedangkan perkataan dan perintah Beliau berlaku untuk kaum Muslim secara umum.3 Jadi, paha bukan aurat hanya khusus bagi Beliau, sedangkan bagi kaum Muslim paha adalah aurat.

Dengan demikian, semua hadis di atas bisa digunakan sebagai dalil tanpa mengabaikan satu hadis pun yang sah dijadikan dalil.
Walhasil, aurat laki-laki adalah anggota tubuh antara pusar sampai ke lutut, dimana pusar dan lutut tidak termasuk aurat.

Aurat Wanita

Rasul saw. pernah bersabda:Wanita adalah aurat. (HR Ibn Hibban dan Ibn Khuzaimah).
Allah Swt. berfirman:Katakanlah kepada para wanita Mukmin, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak padanya." (QS an-Nur [24]: 31).

Hadis di atas menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat. Ayat di atas menyatakan seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali yang biasa tampak. Maksud ayat tersebut adalah janganlah para wanita menampakkan tempat-tempat perhiasan mereka, kecuali yang biasa tampak, yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Dengan demikian, wanita harus menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan kedua telapak tangannya. Ia harus mengenakan khimar (kerudung) yang menutupi seluruh kepala, rambut, leher, dan bahu; diulurkan menutupi kerah atau belahan baju di dada (QS an-Nur [24]: 31). Ia juga harus menutup seluruh badannya sampai kedua telapak kaki.

Ummu Salamah menuturkan, Rasul saw. pernah bersabda (yang artinya): "Siapa saja yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan memandangnya pada Hari Kiamat." Ummu Salamah bertanya, "Lalu bagaimana wanita memperlakukan ujung pakaiannya?" Nabi saw. menjawab, "Ulurkan sejengkal." Ummu Salamah berkata, "Jika demikian, kaki mereka kelihatan." Nabi saw. menjawab, "Hendaknya mereka mengulurkannya sehasta dan jangan ditambah lagi." (HR al-Bukhari).

Ummu Salamah memahami bahwa wanita harus menutup seluruh tubuhnya hingga kedua telapak kaki dan Rasul membenarkannya. Hal itu juga dinyatakan dalam hadis-hadis mengenai keharusan menutup aurat bagi wanita dalam shalat.

Riwayat yang sahih menyatakan bahwa Ibn Abbas, Ibn Umar, dan Aisyah, menafsirkan kalimat illâ mâ zhahara minhâ/kecuali yang biasa tampak darinya (QS an-Nur [24]: 31) dengan wajah dan kedua telapak tangan sampai pergelangan tangan. Di samping itu juga banyak riwayat sahih yang menunjukkan bahwa keduanya, yakni wajah dan kedua telapak tangan memang biasa tampak dari wanita pada masa Rasul, yakni saat turunnya ayat tersebut. Begitu juga ketika para wanita itu bertemu dan berbicara dengan Rasul. Rasul pun mendiamkan fakta seperti itu. Wallâhu a'lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

Catatan Kaki:

  1. Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, I/193, Maktabah Lubnan Nasyirun, Beirut, cet. baru. 1995
  2. Lihat, Ibn Manzhur, Lisân al-'Arab.
  3. Lihat, Asy-Syaukani, Nayl al-Awthâr, II/48-51, Dar al-Jil, Beirut. 1073; Mahmud bin Abdul Lathif 'Uwaidhah, al-Jâmi' li Ahkâm ash-Shalâh, bagian Satr al-'Awrah, Dar al-Wadhah-Muassasah ar-Risalah, Aman Yordania. Cet. III. 2003.

Wali Paidi (Eps.12)

Gus Dur menerima dengan lapang dada isyarah yang ditafsirkan Kiai Rohimi. Gus Dur tidak peduli jika dalam kepimpinanya kelak, akan direcoki ...