Banner

Friday, November 16, 2007

Ketika Zina Jadi Biasa

Saat ini fenomena hamil di luar nikah begitu marak, dan masyarakat pun sudah menganggap hal ini sebagai sesuatu yang biasa. Di mana-mana ada pemilu (pengantin hamil dahulu). Ironisnya, maksiat ini banyak dilakukan umat Islam, padahal Islam mengajarkan umatnya agar jangan mendekati zina...

Dampak Globalisasi
Kemajuan teknologi informasi benar-benar telah membawa pengaruh besar bagi masyarakat. Sayang, kebanyakan pengaruh yang ditimbulkannya bersifat negatif, yang mengarah pada dekadensi moral, khususnya bagi generasi muda.

Pengaruh budaya barat yang disebarkan melalui berbagai tayangan di televisi, VCD, ataupun internet yang begitu mudah diakses, sungguh sangat terasa. Perubahan nilai atau cara pandang terhadap pergaulan antar lawan jenis pun berubah. Kalau dulu, pacaran atau bermesraan di depan umum dianggap tabu, kini hal itu dianggap biasa. Jangankan bersentuhan atau sekadar berciuman, yang lebih dari itu pun dilakukan, dengan tanpa rasa malu! Naudzubillah...

Sepotong Malu Yang Tersisa
Saat melakukan hal itu (zina), mungkin rasa malu benar-benar sudah menghilang dari hati dua insan yang dimabuk cinta. Hawa nafsu telah membius mereka, sehingga hal itu pun terjadi.

Namun...bila kemudian timbul konsekuensi logis dari perbuatan mereka itu, benarkah tiada lagi sepotong malu yang tersisa...?

Bagi seorang gadis, ternyata itu seringkali menyisakan rasa malu yang dalam. Gara-gara hamil di luar nikah, sekolah terpaksa kandas. Dan semua orang tahu, kini ia tidak gadis lagi. Duh, malu ...rasanya! Tambah malu lagi, bila sang pacar tidak mau mengakui atau bertanggung jawab atas perbuatannya. Bila begini jadinya, rasanya, habislah sudah masa depannya. Penyesalan pun selalu datang terlambat.

Demikian juga bagi orangtua si gadis. Ijab qabul belum dilakukan.... eh, rahim anaknya sudah ‘diisi’ orang. Siapa yang tak marah.

Yanglebih menyedihkan adalah rasa malu seorang anak, jika kelak ia tahu, bahwa ia lahir ke dunia ini disebabkan perbuatan yang memalukan. Itulah beberapa ‘malu’ yang tersisa, dari perbuatan yang sepantasnya hanya dilakukan binatang itu.

Dipertanyakan keabsahannya
Ketika mengetahui anak gadisnya dihamili pacarnya, biasanya seorang bapak buru-buru menikahkan mereka. Ia tak peduli, sah atau tidakkah pernikahan dalam kondisi demikian. Yang penting, jangan sampai anaknya melahirkan tanpa memiliki suami.

Walaupun menurut hukum di negeri ini, pernikahan dalam kondisi seperti itu dianggap sah, namun sah jugakah bila dituinjau dari hukum agama yang syar’i?

Dalam islam, seorang wanita yang hamil harus menunggu sampai anaknya lahir, jika ingin menikah. Lagipula, jika pernikahan seperti itu sah, maka akan senanglah para pezina. Enak sekali, bisa berzina dulu dan menikah kemudian. Bila sang wanita tidak hamil, tidak perlu menikah. Yang seperti itu tentu saja sangat bertentangan dengan Islam, karena islam memberikan hukuman yang tegas bagi para pelaku zina.

Anakpun Menjadi Aib
Normalnya, dalam pernikahan, kehadiran anak dianggap sebagai anugrah yang tak ternilai harganya. Tapi, bila anak terlahir dari hubungan di luar nikah, maka ia pun dianggap sebagai aib. Tak jarang, sebelum ia lahir ke dunia, orangtuanya berusaha menggugurkannya. Setelah lahir pun, seringkali ia hanya dibuang begitu saja, seperti sampah yang tak berharga.

Adapun mengenai nasab anak dari perbuatan zina dinasabkan pada ibunya. Meskipun bapak bayi itu sudah menikah dengan ibunya, tapi jika si anak lahir dari perbuatan di luar nikah, maka ia tetap dinasabkan pada ibunya. Jika anak itu perempuan, maka kelak bapaknya (secara biologis) tidak boleh menjadi wali nikahnya! Jadi kehamilan di luar nikah, memang membawa madharat yang panjang....

Pernikahan Tidak Lagi Sakral
Terlepas dari sah atau tidaknya pernikahan 'pemilu' ini, biasanya tidak akan membawa kebahagiaan yang langgeng dalam rumah tangga. Sebab pernikahan sudah kehilangan makna, tidak sakral lagi. Tak ada ‘malam pertama’ yang indah nan penuh kejutan. Karena semua dirasakan sebelum menikah. Mungkin, yang ada justru kejenuhan, penyesalan dan keterpaksaan.

Rumah tangga yang seperti itu biasanya hanya akan terasa ‘gersang’, dan tiada lagi kehangatannya. Mengapa? Karena seringkali mereka menikah, dalam keadaan terpaksa. Khususnya bagi pihak laki-laki. Tak jarang, bila dulunya si gadis memiliki banyak pacar, maka lelaki yang menikahinya tiba-tiba ‘berubah pikiran’ dengan tidak mengakui bahwa bayi yang dikandung isinya itu adalah anaknya. Maka, pihak istrilah yang paling menderita bila ini terjadi.

Kiamat sudah Dekat
Salah satu tanda makin dekatnya hari kiamat adalah menyebarnya maksiat, termasuk maraknya zina. Hari ini kita saksikan, maksiat ada di mana-mana. Zina pun sudah menjadi hal biasa yang dilakukan berbagai kalangan. Lalu, masihkah kita perlu bertanya, bila azab Allah datang silih berganti, semua ini salah siapa?

Barangkali memang kiamat sudah dekat, dan kiamat kecil bagi kita, adalah saat malaikat maut menjemput. Karena itu, mari kita berbekal. Jangan tukar kenikmatan sesaat, dengan siksa di akhirat yang kekal. Wallahu a’lam.

Sumber: Buletin Mahligai vol 1, no 3

Berbuat Baik dan Ketentraman Jiwa

16 Nov 07 18:08 WIB
Oleh Fery Ramadhansya

Diriwayatkan oleh Wabishah bin Ma’bid ra.; aku menemui rasulullah saw., kemudian beliau berkata kepadaku; Engkau datang ingin bertanya tentang kebaikan? Lalu aku menjawab: ya. Kemudian beliau berkata lagi: Tanyalah pada hatimu, kebaikan adalah sesuatu yang menimbulkan ketenangan diri dan ketentraman Jiwa. Sedangkan kejelekan merupakan hal yang meresahkan diri dan menimbulkan keraguan dalam hati, meskipun kau menanyakan orang lain dan mereka menjawabnya. (HR: Ahmad)

Di tengah kegemerlapan dunia sekarang ini, saat teknologi semakin canggih dan informasi bergulir dengan cepatnya ternyata tidak menjamin masyarakat suatu negara menjadi bahagia. Justru sebaliknya, tidak jarang negara yang kita sebut maju, namun penduduknya banyak yang stress sampai-sampai bunuh diri.

Ketika kemewahan melimpah ruah, mengapa justru kebahagian menjadi sesuatu yang langka untuk diperoleh. Tidak sedikit kita jumpai orang kaya yang mengalami stress dan berakhir sroke yang disebabkan karena kekayaannya. Wal hasil, seluruh jerih payah yang dikerahkannya untuk mecari harta, terpaksa ditinggal karena sang penjemput nyawa datang menemuinya.

Fenomena ini banyak terjadi di kota-kota besar. Sebab di sana solidaritas sosial kurang begitu diindahkan. Seiring dengan sifat individualis yang mengakar, oleh karenanya berbuat baik terhadap sesama adalah barang langka. Sehingga terbentuklah komunitas yang cuek dan hanya peduli pada diri sendiri.

Inilah sebabnya kebahagiaan tidak berpihak pada mereka-mereka yang sibuk mengurusi diri sendiri. Padahal andai mau disadari, peduli dengan orang lain dengan berbuat baik pada sesama bisa menimbulkan kepuasan tersendiri dalam batin. Karena fitrahnya manusia diciptakan tidak hanya menerima tetapi juga memberi. Keduanya mestilah seimbang agar kebahagian bisa diperoleh.

Oleh karena itu, demi terciptanya satu komunitas yang bahagia maka dianjurkan saling tolong menolong, bahu membahu dalam usaha kebaikan tersebut.

Allah swt berfirman: “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa…” (QS. 5:2)

Kebaikan menempati ruang dan waktu yang sama dalam kehidupan fana ini. Selama hayat masih dikandung badan, selama nafas masih berhembus dan nyawa belum sampai kerongkongan, selama itu pula seseorang berpotensi untuk membuat hidupnya bahagia atau sengsara.

Sudah berapa seringkah kita berbuat baik terhadap sesama. Sudah berapa banyak kebahagian yang kita peroleh dalam hidup ini. Lihatlah hari ini apakah kita merasa bahagia dengan berbuat baik walau hanya menyingkirkan duri dari jalanan.

Wali Paidi (Eps.12)

Gus Dur menerima dengan lapang dada isyarah yang ditafsirkan Kiai Rohimi. Gus Dur tidak peduli jika dalam kepimpinanya kelak, akan direcoki ...