Banner

Friday, November 16, 2007

Ketika Zina Jadi Biasa

Saat ini fenomena hamil di luar nikah begitu marak, dan masyarakat pun sudah menganggap hal ini sebagai sesuatu yang biasa. Di mana-mana ada pemilu (pengantin hamil dahulu). Ironisnya, maksiat ini banyak dilakukan umat Islam, padahal Islam mengajarkan umatnya agar jangan mendekati zina...

Dampak Globalisasi
Kemajuan teknologi informasi benar-benar telah membawa pengaruh besar bagi masyarakat. Sayang, kebanyakan pengaruh yang ditimbulkannya bersifat negatif, yang mengarah pada dekadensi moral, khususnya bagi generasi muda.

Pengaruh budaya barat yang disebarkan melalui berbagai tayangan di televisi, VCD, ataupun internet yang begitu mudah diakses, sungguh sangat terasa. Perubahan nilai atau cara pandang terhadap pergaulan antar lawan jenis pun berubah. Kalau dulu, pacaran atau bermesraan di depan umum dianggap tabu, kini hal itu dianggap biasa. Jangankan bersentuhan atau sekadar berciuman, yang lebih dari itu pun dilakukan, dengan tanpa rasa malu! Naudzubillah...

Sepotong Malu Yang Tersisa
Saat melakukan hal itu (zina), mungkin rasa malu benar-benar sudah menghilang dari hati dua insan yang dimabuk cinta. Hawa nafsu telah membius mereka, sehingga hal itu pun terjadi.

Namun...bila kemudian timbul konsekuensi logis dari perbuatan mereka itu, benarkah tiada lagi sepotong malu yang tersisa...?

Bagi seorang gadis, ternyata itu seringkali menyisakan rasa malu yang dalam. Gara-gara hamil di luar nikah, sekolah terpaksa kandas. Dan semua orang tahu, kini ia tidak gadis lagi. Duh, malu ...rasanya! Tambah malu lagi, bila sang pacar tidak mau mengakui atau bertanggung jawab atas perbuatannya. Bila begini jadinya, rasanya, habislah sudah masa depannya. Penyesalan pun selalu datang terlambat.

Demikian juga bagi orangtua si gadis. Ijab qabul belum dilakukan.... eh, rahim anaknya sudah ‘diisi’ orang. Siapa yang tak marah.

Yanglebih menyedihkan adalah rasa malu seorang anak, jika kelak ia tahu, bahwa ia lahir ke dunia ini disebabkan perbuatan yang memalukan. Itulah beberapa ‘malu’ yang tersisa, dari perbuatan yang sepantasnya hanya dilakukan binatang itu.

Dipertanyakan keabsahannya
Ketika mengetahui anak gadisnya dihamili pacarnya, biasanya seorang bapak buru-buru menikahkan mereka. Ia tak peduli, sah atau tidakkah pernikahan dalam kondisi demikian. Yang penting, jangan sampai anaknya melahirkan tanpa memiliki suami.

Walaupun menurut hukum di negeri ini, pernikahan dalam kondisi seperti itu dianggap sah, namun sah jugakah bila dituinjau dari hukum agama yang syar’i?

Dalam islam, seorang wanita yang hamil harus menunggu sampai anaknya lahir, jika ingin menikah. Lagipula, jika pernikahan seperti itu sah, maka akan senanglah para pezina. Enak sekali, bisa berzina dulu dan menikah kemudian. Bila sang wanita tidak hamil, tidak perlu menikah. Yang seperti itu tentu saja sangat bertentangan dengan Islam, karena islam memberikan hukuman yang tegas bagi para pelaku zina.

Anakpun Menjadi Aib
Normalnya, dalam pernikahan, kehadiran anak dianggap sebagai anugrah yang tak ternilai harganya. Tapi, bila anak terlahir dari hubungan di luar nikah, maka ia pun dianggap sebagai aib. Tak jarang, sebelum ia lahir ke dunia, orangtuanya berusaha menggugurkannya. Setelah lahir pun, seringkali ia hanya dibuang begitu saja, seperti sampah yang tak berharga.

Adapun mengenai nasab anak dari perbuatan zina dinasabkan pada ibunya. Meskipun bapak bayi itu sudah menikah dengan ibunya, tapi jika si anak lahir dari perbuatan di luar nikah, maka ia tetap dinasabkan pada ibunya. Jika anak itu perempuan, maka kelak bapaknya (secara biologis) tidak boleh menjadi wali nikahnya! Jadi kehamilan di luar nikah, memang membawa madharat yang panjang....

Pernikahan Tidak Lagi Sakral
Terlepas dari sah atau tidaknya pernikahan 'pemilu' ini, biasanya tidak akan membawa kebahagiaan yang langgeng dalam rumah tangga. Sebab pernikahan sudah kehilangan makna, tidak sakral lagi. Tak ada ‘malam pertama’ yang indah nan penuh kejutan. Karena semua dirasakan sebelum menikah. Mungkin, yang ada justru kejenuhan, penyesalan dan keterpaksaan.

Rumah tangga yang seperti itu biasanya hanya akan terasa ‘gersang’, dan tiada lagi kehangatannya. Mengapa? Karena seringkali mereka menikah, dalam keadaan terpaksa. Khususnya bagi pihak laki-laki. Tak jarang, bila dulunya si gadis memiliki banyak pacar, maka lelaki yang menikahinya tiba-tiba ‘berubah pikiran’ dengan tidak mengakui bahwa bayi yang dikandung isinya itu adalah anaknya. Maka, pihak istrilah yang paling menderita bila ini terjadi.

Kiamat sudah Dekat
Salah satu tanda makin dekatnya hari kiamat adalah menyebarnya maksiat, termasuk maraknya zina. Hari ini kita saksikan, maksiat ada di mana-mana. Zina pun sudah menjadi hal biasa yang dilakukan berbagai kalangan. Lalu, masihkah kita perlu bertanya, bila azab Allah datang silih berganti, semua ini salah siapa?

Barangkali memang kiamat sudah dekat, dan kiamat kecil bagi kita, adalah saat malaikat maut menjemput. Karena itu, mari kita berbekal. Jangan tukar kenikmatan sesaat, dengan siksa di akhirat yang kekal. Wallahu a’lam.

Sumber: Buletin Mahligai vol 1, no 3

Berbuat Baik dan Ketentraman Jiwa

16 Nov 07 18:08 WIB
Oleh Fery Ramadhansya

Diriwayatkan oleh Wabishah bin Ma’bid ra.; aku menemui rasulullah saw., kemudian beliau berkata kepadaku; Engkau datang ingin bertanya tentang kebaikan? Lalu aku menjawab: ya. Kemudian beliau berkata lagi: Tanyalah pada hatimu, kebaikan adalah sesuatu yang menimbulkan ketenangan diri dan ketentraman Jiwa. Sedangkan kejelekan merupakan hal yang meresahkan diri dan menimbulkan keraguan dalam hati, meskipun kau menanyakan orang lain dan mereka menjawabnya. (HR: Ahmad)

Di tengah kegemerlapan dunia sekarang ini, saat teknologi semakin canggih dan informasi bergulir dengan cepatnya ternyata tidak menjamin masyarakat suatu negara menjadi bahagia. Justru sebaliknya, tidak jarang negara yang kita sebut maju, namun penduduknya banyak yang stress sampai-sampai bunuh diri.

Ketika kemewahan melimpah ruah, mengapa justru kebahagian menjadi sesuatu yang langka untuk diperoleh. Tidak sedikit kita jumpai orang kaya yang mengalami stress dan berakhir sroke yang disebabkan karena kekayaannya. Wal hasil, seluruh jerih payah yang dikerahkannya untuk mecari harta, terpaksa ditinggal karena sang penjemput nyawa datang menemuinya.

Fenomena ini banyak terjadi di kota-kota besar. Sebab di sana solidaritas sosial kurang begitu diindahkan. Seiring dengan sifat individualis yang mengakar, oleh karenanya berbuat baik terhadap sesama adalah barang langka. Sehingga terbentuklah komunitas yang cuek dan hanya peduli pada diri sendiri.

Inilah sebabnya kebahagiaan tidak berpihak pada mereka-mereka yang sibuk mengurusi diri sendiri. Padahal andai mau disadari, peduli dengan orang lain dengan berbuat baik pada sesama bisa menimbulkan kepuasan tersendiri dalam batin. Karena fitrahnya manusia diciptakan tidak hanya menerima tetapi juga memberi. Keduanya mestilah seimbang agar kebahagian bisa diperoleh.

Oleh karena itu, demi terciptanya satu komunitas yang bahagia maka dianjurkan saling tolong menolong, bahu membahu dalam usaha kebaikan tersebut.

Allah swt berfirman: “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa…” (QS. 5:2)

Kebaikan menempati ruang dan waktu yang sama dalam kehidupan fana ini. Selama hayat masih dikandung badan, selama nafas masih berhembus dan nyawa belum sampai kerongkongan, selama itu pula seseorang berpotensi untuk membuat hidupnya bahagia atau sengsara.

Sudah berapa seringkah kita berbuat baik terhadap sesama. Sudah berapa banyak kebahagian yang kita peroleh dalam hidup ini. Lihatlah hari ini apakah kita merasa bahagia dengan berbuat baik walau hanya menyingkirkan duri dari jalanan.

Tuesday, June 05, 2007

Memikat Cinta

22 Mei 07 09:13 WIB
Oleh Indah Prihanande

“Aku nyari – nyari koki yang cocok buat lidahmu, ternyata ada di dalam diriku! He... He, masakan spesial untukmu malam ini”

SMS dari suami saya yang terlalu Pede ini datang begitu melambungkan rasa bahagia. Kejutan yang bagi saya tidaklah kecil nilainya. Amat berharga dan bernilai emosi tinggi.

Saya hafal dengan kebiasaannya. Ketika dia mengirimkan pesannya tersebut, hampir bisa dipastikan dia tengah berkutat didapur. Meramu masakan yang entah apa namanya. Biasanya semua bumbu instant dicampur ke dalam masakan: kecap asin, minyak wijen, garam, bawang goreng siap pakai, dan lain-lainnya. Hanya dia saja yang tahu persis rumus masakannya. “Rahasia” katanya setiap kali saya iseng menanyakan kunci keberhasilannya.

Padahal saya tidak serius untuk sungguh-sungguh ingin mengetahui racikannya tersebut. Saya tahu pasti, bumbu racikannya adalah campuran dari semua bumbu instant yang ada didapur kami.

Tapi saya tak perduli, itu tak teramat penting. Yang terpenting adalah nilai-nilai kejutan yang selalu disodorkannya selama ini membuat hidup saya terasa lebih hidup dan penuh warna.

Suami saya mempunyai cara sederhana dan memikat untuk menunjukan perhatiannya. Selama ini, saya terhipnotis dengan kejutan-kejutan yang disampaikannya dengan gaya yang segar dan menyenangkan itu.

Kali ini saya tengah sibuk dikejar dengan tugas di kantor. Dan dari pagi saya belum sempat memberi kabar apapun untuknya. Tanpa diminta dengan sukarela dia mengirimkan setangkai bunga mawar yang indah lengkap dengan sebaris kalimat yang tertulis:

“Hai, terima aja apa adanya ya. Tq”

Ada tawa yang nyaris meledak! Saya tergelitik dengan usaha dan kerja kerasnya untuk menjadi sedikit romantis. Apa yang dikirimnya itu seketika menyegarkan fikiran dan perasaan. Walau hanya melalui SMS, mawar itu telah saya terima dengan rasa syukur tak terhingga.

***

Ya, begitulah. Dia telah banyak mengajarkan tentang sebuah perhatian kecil di tengah keterbatasan waktu dan materi yang kami miliki.

Ketika kita tidak bisa memberikan hal-hal besar menyenangkan yang membutuhkan ketersediaan materi untuk pasangan kita, kita harus bisa mencari, menemukan, untuk kemudian mengaplikasikan perhatian kecil tersebut dalam keseharian kita. Tak perduli betapa padatnya kesibukan yang kita miliki, seharusnya hal tersebut menjadi perhatian khusus yang tidak terganggu oleh alasan apapun.

Bukankah di tengah perjalanan kita bisa berkirim SMS dengan kata-kata menyenangkan dan kalimat motivasi yang membuatnya bersemangat? Bukankah kita bisa memberikan kejutan dengan mengirimkan surat pujian kita untuknya yang dikirim lewat pos ke alamat kantornya? Atau jika ada sedikit uang, pergi saja ketoko buku, belikan buku yang terkait dengan hobi dan minatnya. Tidak sulit bukan?

Kita bisa melakukannya dengan cara dan gaya dan menurut kemampuan masing-masing. Yang dibutuhkan hanyalah mau atau tidak untuk melakukannya.

Yuk, kita buat proyek ini berjalan ditahun ini. Kita beri judul: Proyek Sederhana, Memikat dan Penuh Cinta!

Nenda_2001@yahoo. Com

Penyumbat Rezeki

25 Mei 07 09:19 WIB
Oleh Bayu Gawtama

Hardi, seorang pedagang kelontong yang cukup berhasil di kotanya. Namun jangan lihat keberhasilannya sekarang sebelum tahu faktor apa yang menjadi penyebab usahanya maju dan lancar.

Setahun yang lalu, Hardi mengadukan nasibnya kepada guru ngajinya. Ia mengaku sudah lebih sebelas tahun mencoba berbagai usaha namun selalu kandas di tengah jalan. Usaha pertamanya sudah dimulai saat ia baru memasuki kuliah tingkat dua, sekitar tahun 1994. Saat itu, ia mendapat pembagian warisan dari orangtuanya yang belum lama meninggal dunia. Jiwa bisnisnya memang sudah terlihat semenjak kecil, jadi wajar jika kemudian ia mendapatkan uang warisan dalam jumlah yang cukup banyak, maka yang terbersit di kepalanya adalah bisnis.

Maka, beberapa bulan kemudian ia membuka sebuah warung makan. Mulanya, warung makannya berjalan normal, bahkan bisa dibilang sangat laku keras. Mungkin karena ia melakukan promosi sangat gencar, selain karena ia termasuk anak muda yang memiliki cukup banyak relasi meski pun usianya masih sangat muda. Jadi sangat mudah baginya untuk mengundang sahabat, kerabat dan relasinya untuk sekadar mencicipi warung makan miliknya.

Entah kenapa, selang tiga bulan kemudian satu persatu pelanggan meninggalkannya. Tak banyak lagi yang makan di warungnya, sehingga dalam waktu tak berapa lama ia terpaksa menutup usahanya dan gulung tikar. Ia pun berganti usaha yang lain dengan sisa modal yang ada.

Usaha barunya, tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Masih seputar makanan. Kali ini ia membuka usaha catering yang melayani makan untuk kantor-kantor di kota tinggalnya. Alhamdulillah ia dipercaya seorang rekannya yang bekerja di sebuah perusahaan untuk memasukkan catering untuk makan siang beberapa karyawan. Untuk sebuah awalan, catering untuk sekitar 20 karyawan dianggapnya bagus. “Mulanya 20, insya Allah menjadi 200, 2000 dan seterusnya…” semangat Hardi berapi-api.

Alih-alih bertambah pelanggan, rupanya Allah berkehendak lain. Yang 20 pun menyetop langganan catering kepada Hardi, sementara selama satu bulan penuh itu ia belum mendapatkan pelanggan baru. Akhirnya, ia pun kembali mengalami kebangkrutan. Demikian seterusnya hingga lebih sepuluh tahun kemudian ia berganti jenis usaha selalu menemui kegagalan.

Pada satu kesempatan ia mengadukan perihal kegagalan demi kegagalan usahanya kepaada guru mengajinya. Ia menceritakan secara detil semua jenis usaha yang pernah dicobanya dan bagaimana sampai akhirnya semua usahanya gagal. “Saya harus usaha apalagi guru, saya sudah kehabisan modal. Bahkan saat ini saya memiliki hutang yang tidak sedikit…” keluhnya.

Guru tersebut tak lantas memberikan jawaban dengan menyebut satu bentuk usaha baru yang patut dicoba Hardi, melainkan meminta Hardi mengingat-ingat sesuatu di masa lalu. “Coba ingat, pernah punya hutang atau tidak di masa lalu? Atau pernah punya sangkutan berkenaan dengan rezeki orang lain atau tidak di masa lalu…?” tanya sang guru.

Dahi Hardi mengerenyit, mencoba mengingat-ingat masa lampaunya. Rasa-rasanya ia tak pernah punya hutang kepada siapa pun, justru sebaliknya ia malah mengingat kembali daftar nama-nama yang pernah berhutang kepadanya. “Coba lebih keras mengingat, mungkin nilainya kecil, tapi boleh jadi itu yang menjadi penyumbat rezekimu…”

“Astaghfirullah…. “ Hardi teringat sesuatu. Ia pun segera menyalami sang guru dan mohon pamit seraya berucap terima kasih. Pria itu segera memacu kencang kendaraannya menuju suatu tempat. Dalam hati ia berharap cemas, “Semoga masih ada warung itu…”

Tidak kurang dari tiga belas jam waktu yang ditempuh Hardi menuju Semarang, mencari satu tempat yang pernah ia singgahi hampir dua belas tahun yang lalu. Tiba di tempat yang dituju, ia tidak menemukan lagi warung mie ayam tempatnya makan dahulu. Kemudian ia mencoba bertanya kepada orang-orang di sekitar perihal tukang mie yang pernah berjualan di situ.

“Ya, tukang mie itu bapak saya. Sekarang sudah tidak berjualan lagi. Sekarang bapak sedang sakit parah…” seorang anak menceritakan ciri-ciri fisik penjual mie ayam itu, dan Hardi yakin sekali itu orang yang dicarinya. Tanpa pikir panjang, ia minta diantarkan ke rumah penjual mie untuk bertemu langsung.

Ketika melihat kondisi penjual mie, Hardi menitikkan air mata. Ia langsung meminta beberapa anggota keluara membopong penjual mie itu ke mobilnya dan segera membawanya ke rumah sakit. Alhamdulillah, jika tidak segera dibawa ke rumah sakit, mungkin penjual mie itu tidak akan tertolong. Seluruh biaya rumah sakit tercatat mencapai lima belas juta rupiah, dan semuanya ditanggung oleh Hardi.

Beberapa hari kemudian, setelah kembali ke rumah, bapak penjual mie itu mengucapkan terima kasih kepada Hardi. “Bapak tidak tahu harus bagaimana mengembalikan uang biaya berobat itu kepada nak Hardi. Usaha dagang bapak sedang susah…” Hardi berkali-kali mencium tangan Pak Atmo, penjual mie itu. Matanya tak henti menitikkan air mata, ia sedang berusaha menyatakan sesuatu, namun bibirnya terasa sangat berat.

Akhirnya, “… semua sudah terbayar lunas pak. Saya hanya minta bapak mengikhlaskan semangkuk mie ayam yang pernah saya makan tanpa membayar dua belas tahun silam”, Hardi terus menangis berharap keikhlasan itu didapatnya. Saat itu, sehabis makan ia langsung kabur memacu sepeda motornya dan tak membayar semangkuk mie seharga 1.500 rupiah.

Pak Atmo memeluk erat tubuh Hardi dan mengusap-usap kepala pria muda itu seraya berucap, “Allah Maha Pemaaf, begitu pun semestinya kita…”.

***

Perlancar dulu rezeki orang lain, agar tidak menyumbat rezeki kita.

Wallaahu ‘a’lam bishshowaab (Gaw)

Bangunkan Aku, Teman...

30 Mei 07 08:22 WIB
Oleh Fivy Miftahiyah

Dini hari pukul 02. 10 aku terbangun oleh sebuah nada yang amat kukenal dari ponselku. Tanpa berfikir panjang, segera kuhampiri benda kecil kotak warna hitam itu; namun belum sempat kutekan "ok" untuk menjawab panggilan tadi, bunyi nada dari ponselku sudah berhenti. Terlambat! Entah sudah berapa menit ponselku tadi berbunyi. Sebuah nama terlihat dalam daftar misscall: Bu Umi.

Rasa kantukku seketika lenyap, berganti rasa khawatir. Gerangan apa tengah malam buta, Bu Umi, teman baikku menghubungi? Kalau bukan karena hal mendesak tentu bisa dilakukan besok pagi ketika matahari telah tinggi... Dan tak perlu mengagetkan mimpi indahku.

Jangan-jangan, Hana atau Husna sakit, atau... Hampir saja aku menekan tuts ponsel, memanggil balik nomor Bu Umi untuk memastikan apa yang terjadi. Namun tiba-tiba akutersentak oleh sesuatu yang membuatku geli dan malu pada diri sendiri.

Astaghfirullah... Malam ini memang aku dan Bu Umi sudah janjian, siapa yang bangun duluan, akan membangunkan yang lain untuk qiyamullail... Ternyata dia yang duluan.

"Kita coba saja yuk saling membangunkan untuk tahajjud, supaya semangat kita seperti dulu lagi" demikian usulnya pada suatu perbincangan tempo hari, disusul dengan anggukan persetujuanku.

Saat itu memang kami sedang berdiskusi tentang kondisi para ibu yang terasa sangat menurun kualitas ibadah, ukhuwah maupun aktivitas da'wahnya karena disibukkan dengan rutinitas rumah tangga, yang terkadang dijadikan legalisasi alias kambing hitam.

Beberapa teman kami terlihat hambar dalam setiap pertemuan. Datang, duduk, mendengarkan materi, terus pulang. Kedekatan hati terasa begitu mahal. Keterbukaan dan keakraban pun kami rasakan kurang. Bahkan ada juga yang terkesan mencari-cari alasan untuk dapat sekadar hadir dalam majelis yang telah kami sepakati. Barangkali banyak faktor yang menyebabkan kelesuan ini.

"Setidaknya kita mencoba untuk menunjukkan kepedulian, melalui saling mengingatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah pada tiap-tiap tengah malam yang hening.." demikian kesepakatan yang kami putuskan.

Setelah menarik nafas panjang, segera aku bangkit, dan sebelum mengambil air wudhu, beberapa nama di ponselku sempat aku kirim misscall, dengan harapan mereka juga mengingat ikhtiar ini.

Dan memang terasa lain qiyamullail kali ini. Ada keharuan dalam dada, ketika terbayang wajah-wajah teman dan sahabat. Semoga mereka senantiasa mendapat rahmat, ampunandan hidayah-Nya; serta mendapat kekuatan luar biasa untuk berjuang menegakkan kebenaran. Amin.

"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui, bahwa hati-hati ini telah terkumpul untuk mencintai-Mu, untuk taat kepada-Mu, bersatu untuk dakwah di jalan-Mu, berjanji untuk membela syariat-Mu, maka kuatkanlah ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalannya, penuhilah dengan nur cahaya-Mu yang tidak akan pernah pudar... "

Nilai Sebuah Do'a

31 Mei 07 08:29 WIB
Oleh Cahaya Khairani

Sebuah Bis antar kota-antar propinsi melaju perlahan meninggalkan terminal. Di dalamnya menumpang tiga puluh mahasiswa yang akan pulang kampung, salah satunya adalah Annisa. Ia memilih ikut bersama rombongan teman-teman satu kampus menghabiskan liburan semester di kampung halaman.

Lebih aman, alasannya. Jarak tempuh kota tempatnya menuntut ilmu dengan daerah asalnya memang cukup jauh, membutuhkan waktu satu hari satu malam. Dengan ikut bersama rombongan tentu akan mengusir kebosanan selama dalam perjalanan, juga aman dari gangguan laki-laki iseng yang biasanya berkeliaran bebas di atas kapal penyeberangan.

Tidak seperti teman-temannya yang terlihat menikmati perjalanan, Annisa tampak gelisah dalam perjalanannya kali ini. Entahlah, ia merasa seakan-akan Bis yang ditumpanginya akan mengalami kecelakaan. Perasaannya tak menentu, sedangkan Bis belum lagi menempuh separuh perjalanan. Setiap kali memejamkan mata, Annisa sontak terjaga bila sopir Bis menginjak rem. Kalimat tahlil terus mengalir dari lisannya. Bayang-bayang kecelakaan membuatnya tak dapat tidur, padahal obat anti mabuk yang diminumnya sebelum berangkat tadi telah memaksanya untuk tidur.

Di sebuah rumah makan, Bis berhenti untuk istirahat. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Annisa, juga teman-temannya turun untuk makan. Usai makan, Annisa segera menuju musholla dengan agak terburu-buru. Teman-temannya sudah tak terlihat di meja makan sejak Annisa keluar dari toilet tadi. Ia takut tertinggal. Di muholla Annisa mengernyitkan keningnya, sepi. Tak ada teman-temannya yang sholat. Hanya ia sendiri. Tanpa berprasangka Annisa segera menunaikan kewajibannya, menjamak sholat maghrib dan isya. Usai sholat, dipanjatkannya Do’a dengan khusyu’. Kegelisahannya masih belum hilang, Annisa merasa membutuhkan tempat berlindung.

“ Ya Allah.. hamba berlindung pada-Mu dari kegelisahan ini. Berilah hamba keselamatan hingga…”. Do’a Annisa terputus. Annisa terdiam sesaat. Ia merasa ada yang salah dengan permohonannya.

“Kenapa aku egois? Aku hanya mendo’akan diriku sendiri…” Annisa menggumam di hati. Kembali diangkatnya kedua tangan dan berdo’a, “Ya Allah…hamba berlindung pada-Mu dari kegelisahan ini. Berilah pada kami semua keselamatan hingga tiba di tujuan…Amin”. Annisa segera membuka dan mengemas mukenanya. Keluar dari musholla, teman-teman bersorak memanggilnya, Bis akan segera berangkat.

Tengah malam, saat Annisa dapat tidur dengan hati tenang dan teman-temannya telah tertidur lelap, tiba-tiba Bis terguncang keras! Para penumpang sontak terbangun tak terkecuali Annisa. Pekik takbir menggema dari lisannya. Di depan, kaca Bis pecah berhamburan. Gelap. Annisa tak dapat melihat apapun. Hanya jerit tangis dan erangan kesakitan yang terdengar. Tak lama kemudian lampu dalam Bis menyala. Annisa melihat ke sekeliling. Teman duduknya tampak pucat pasi, begitu juga dengan yang lainnya, tapi tak ada yang teluka. Lalu siapa yang mengerang kesakitan…?

Annisa baru tahu apa yang terjadi setelah sopir Bis menyuruh seluruh penumpang keluar dari Bis, dan… Masya Allah! Bis tabrakan dengan sebuah mobil minibus. Setengah badan minibus itu hancur. Dua orang meninggal di tempat. Satu orang kakinya tergencet dan sudah dilarikan ke rumah sakit. Dua orang lainnya selamat.

Bagaimana dengan Bis yang ditumpangi Annisa dan kawan-kawan…? Setelah tabrakan terjadi, Bis yang ditumpangi Annisa oleng, sopir membanting stir ke kiri menabrak tembok rumah orang hingga roboh. Bis berhenti dengan badan miring, dan yang membuat Bis itu tidak terbalik karena adanya gunungan pasir yang menahannya. Suatu keajaiban seluruh penumpang selamat, tanpa cidera. Menyadari ia dan teman-temannya selamat, Annisa teringat do’anya ketika di musholla rumah makan. Annisa tidak hanya mendo’akan dirinya sendiri, ia juga mendo’akan teman-temannya agar diberi keselamatan.

Satu lagi bukti Maha Kasih-Nya. Walau teman-teman Annisa lalai menunaikan sholat, Allah dengan Maha Kasih-Nya mengabulkan permohonan Annisa, menyelamatkan mereka dari kecelakaan maut itu…(Cahaya Khairani)

NB: Sudahkah kita mendo’akan orang-orang di sekeliling kita…?

Shalat, Bagaimanapun Tetap Kewajiban!

5 Jun 07 12:01 WIB
Oleh Eko Hardjanto

''Setiap hari kubuka mata dari tidur di pagi hari sambil sesaat termenung, aku masih hidup. Seberapa baikkah shalatku… ''

Teringat dulu ketika manusia agung itu menahan pedih di kala sakaratul maut, inilah yang diucapkannya, "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum, peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu. "

Di luar pintu rumah Az-Zahra tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii", "Umatku, umatku, umatku." Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang dima’sum itu.

Mari renungkan, betapa luar biasa amal shalat, sehingga Rasulullah masih sempat mewarisi wasiat shalat di akhir hidupnya, yaitu ketika rasa sakit tak ada yang menandingi lagi.

Shalat, ia amal utama setelah syahadat, amal pertama diperhitungkan di akhirat.
Shalat, ia mencerminkan kehidupan, dengannya tercegah perbuatan keji dan mungkar.
Shalat, ia diperintahkan Allah langsung ketika Rasulullah Mi’raj di suatu malam.

Lalu mari renungkan kisah para pejuang, di masa lalu, di padang pasir, di masa kini, di kegelapan hutan, di puncak gunung, dalam persembunyian.

Shalat, ia membuat seorang luka berdiri di waktu malam, di tengah amuk pertempuran.
Shalat, ia bagaikan rehat karena keringat dan darah seharian.
Shalat, ia sarana mengadu dan memohon pertolongan.
Shalat, ia sebuah amal para mujahid sebelum tiang gantungan

Coba renungkan kisah di kala sakit di pembaringan.
Shalat, ia dikerjakan dalam duduk, ataupun berbaring, tetap ia sebuah kewajiban.

Dan sebuah akhir yang sangat perlu direnungkan.
Shalat, ia dilakukan bagi manusia yang tak kuasa dalam diam, sesaat menuju pekuburan.

Saudaraku, itulah shalat, sebuah kewajiban 17 kali ruku’ dalam sehari semalam yang seringkali tak lengkap, tanpa makna, bahkan hilang.

Setiap hari kubuka mata dari tidur di pagi hari sambil sesaat termenung, aku masih hidup. Seberapa baikkah shalatku…
***
Robbij'alni muqiimassholaati wamindzurriyati Ya Allah jadikan aku dan keturunanku orang-orang yang mendirikat sholat.
***
Rotterdam, 18 Jumaadil Awwal 1428 H.
Di balik meja kantor, hanya mendengar suara Adzan ‘’Islamic Finder’’.

Tuesday, March 20, 2007

Menjemput Cinta (Bag.1)

Segala puji bagi Allah, kita memuji, memohon pertolongan, serta ampunanNya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan nafsu-nafsu kita dan dari kejahatan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang ditunjuki oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah maka tak seorangpun yang bisa menunjukinya.

Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.


Cinta adalah bagian dari fitrah, orang yang kehilangan cinta dia tidak normal tetapi banyak juga orang yang menderita karena cinta. Bersyukurlah orang-orang yang diberi cinta dan bisa menyikapi rasa cinta dengan tepat.

"Dijadikan indah pada pandangan manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia dan disisi Allah tempat kembali yang baik." (Al-Qur`an: Al-Imron ayat 14)

Cintamu kepada sesuatu menjadikan kamu buta dan tuli (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Cinta memang sudah ada didalam diri kita, diantaranya terhadap lawan jenis. Tapi kalau tidak hati-hati cinta bisa menulikan dan membutakan kita.

Islam tidak melarang atau mengekang manusia dari rasa cinta tapi mengarahkan cinta tetap pada rel yang menjaga martabat kehormatan, baik wanita maupun laki-laki. Kalau kita jatuh cinta harus hati-hati karena seperti minum air laut semakin diminum semakin haus. Cinta yang sejati adalah cinta yang setelah akad nikah, selebihnya adalah cobaan dan fitnah saja.

Cara untuk bisa mengendalikan rasa cinta adalah jaga pandangan, jangan berkhalwat berdua-duaan, jangan dekati zina dalam bentuk apapun dan jangan saling bersentuhan.

Berdasarkan tingkatannya cinta manusia di bagi menjadi beberapa bagian, yaitu :

1. Cinta kepada kepada sang khalik, hal ini tercantum didalam salah satu firman Allah :
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS 3 : 31)

Sahabat, bagaimana caranya kita menjemput cinta Allah? pertama–tama kita harus Ma’rifatullah (mengenal Allah), sesungguhnya hanya Dialah cinta sejati kita. Yang selalu memenuhi kebutuhan kita, yang selalu ada disaat kita membutuhkan-Nya, dan selalu mengabulkan apa yang kita minta. Yang memiliki 99 Nama yang Indah (Asma Ul-Husna), Hal ini tercantum didalam salah satu firman-Nya :
Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, raja, yang Maha suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS 59:23)

Lalu apakah kita masih mengaku mencintai Allah SWT, sementara di waktu azan berkumandang kita masih di depan tv mengacuhkan panggilan sholat, kita masih asik dengan santainya mengobrol dengan teman kita dengan alasan tanggung? atau barangkali sholat pun kita tinggalkan. Kemudian ada lagi kadang kita salah berucap atau dengan tingkah laku kita kita menyakiti hati orang lain? atau mungkin juga kita pernah berbuat maksiat yang dilarang oleh Allah. Nauzhu Billah.

Sahabat, sesungguhnya Allah pun cemburu kepada kita, Dari Abi Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah SWT itu pencemburu. Dan kecemburuan Allah itu adalah ketika seseorang mengerjakan apa yang diharamkan Allah SWT." (HR Muttafaq alaihi)

Tidakkah kita ingin dicintai Allah? Jika kita ingin dicintai oleh Allah SWT, maka jauhilah segala perkara yang Allah larang dan kerjakanlah apa yang Allah perintahkan. Insya Allah bila kita mengerjakan apa yang Allah perintahkan, maka Allah pun akan mencintai kita. Ada suatu riwayat mengatakan “ Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang Hamba, maka Dia akan mengatakan kepada Malaikat Jibril, dan malaikat Jibril pun berseru kepada seluruh malaikat yang ada di langit dan di bumi dengan mengatakan bahwa Allah mencintai si Fulan. Maka seluruh malaikat yang diseru pun mencintai orang tersebut. “

Sahabat, dalam setiap detik yang berdetak. Dalam menit yang berhamburan tak kenal ampun. Juga dalam bilangan jam yang menukik tak terhentikan. Diamlah sejenak. Lihatlah di kedalaman jiwa. Tengok sebentar ujud hatimu. Adakah rupanya bersinar ataukah kau temukan ujud yang legam?. Dan apabila rupa yang kedua yang kau jumpai, maka seperti ucapan perempuan yang bersimpuh peluh di hadapan RasulNya tentang dosa-dosanya, kita juga perlu mengadospsi perkataannya sebagai manifestasi malu “Dengan apa kubahasakan malu ini pada Allah Yang Maha Kuasa. Haruskah dengan isak yang menyesak? Dengan kata yang menyemesta? Dengan keluhan-keluhan panjang?”

Tapi pernahkah kita malu dengan berbukit dosa yang diperbuat. Pernahkah merasa enggan bertemu Allah, karena malu atas segala salah yang tak akan luput dari pernglihatan Nya?. Malulah dari sekarang. Malulah dengan sebenar-benar malu, dengan sepenuh malu. Terlalu sering kita berada di sudut yang gelap karena keluar dari orbit benderang Nya. Terlalu mudah kita ingkari nikmat Nya yang agung, hingga kita benar-benar tidak tahu malu. Sekali lagi, Malulah kepada Tuhanmu.

Malu adalah sebagian dari iman, itu adalah sabda Rasulullah. Tapi malu yang seperti apa?. Dari Abdullah Ibn Mas’ud r.a, diriwayatkan bahwa Nabi bersabda “Orang yang malu kepada Allah dengan sepenuh malu adalah orang yang menjaga kepalanya dari isinya, menjaga perutnya dari segala rezeki tidak halal, selalu mengingat kematian, meninggalkan kemewahan dunia dan menjadikan perbuatan akhirat sebagai hal yang lebih utama. Sesiapa yang melakukan semua itu, maka ia telah malu kepada Allah dengan sepenuh malu”.

Dan, tahukah kalian apa yang Allah berikan sebagai imbalan kepada orang yang malu kepada Nya? Sebuah perlindungan tanpa tanding. Itu janji Nya.

Inilah contoh kisah cinta sejati dan pengorbanan hakiki yaitu kisah Ibrahim yang terukir dalam al-Qur’an. Setelah dia mengenal dan mengetahui siapa Tuhannya yang sesungguhnya, dia pun jatuh cinta kepada-Nya (tak kenal maka tak sayang, kan). Dan Tuhannya pun berkenan menyambut cintanya dan menjadikannya sebagai kekasihnya (khalilullah). "Dan Allah mengambil Ibrahim sebagai kekasihNya" (QS:4;125).

Dan karena Ibrahim as paham benar apa itu cinta dan segala konsekuensinya, maka dia siap berkorban untuk sesuatu yang dicintainya karena memang cinta butuh pengorbanan. Namun tidak tanggung-tanggung, Ibrahim as diminta untuk mengorbankan putra kesayangan satu-satunya, belahan hati yang bertahun-tahun ditunggu kehadirannya, tapi ia rela, karena memang yang memintanya adalah Tuhannya, Kekasihnya.

Itulah sekelumit kisah cinta antara seorang hamba dengan Tuhannya, sebuah kisah yang benar-benar menyayat jiwa, membikin pilu di hati, tapi penuh dengan nilai-nilai Rabbani. Sebuah pengorbanan dari pemahaman akan cinta yang sangat mendalam kepada Tuhan Rabbal ‘alam. Itulah cinta sejati, cinta hakiki, yang akan mendapat ridha ilahi rabbi. Cinta dan pangorbanan yang akan mendapatkan kenikmatan abadi di dalam surga nanti. Bandingkan dengan cerita di atas tadi. Sebuah gambaran cinta dan pengorbanan yang penuh birahi dan emosi. Sebuah pengorbanan yang tiada arti.

.... Bersambung

By: Sherly Elpatra Fariusman

Wali Paidi (Eps.12)

Gus Dur menerima dengan lapang dada isyarah yang ditafsirkan Kiai Rohimi. Gus Dur tidak peduli jika dalam kepimpinanya kelak, akan direcoki ...