Banner

Tuesday, April 18, 2006

Sebesar apa kecintaan kita terhadap Rasullullah ???

Dengan Menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
==================================================
Jemputlah Dia yang Menggumamkan Namamu!
KH. Jalaluddin Rakhmat

Pada pertengahan tahun enam puluhan, saya membentuk keluarga sederhana di tengah tetangga-tetangga yang sederhana dan di perumahan sangat sederhana. Pendapat saya tentang agama juga sederhana. Pegangan saya Al-Quran dan hadis, titik. Saya tidak suka pada peringatan maulid, karena tidak diperintahkan dalam Al-Quran dan hadis. Saya tidak suka salawat yang bermacam-macam selain salawat yang memang tercantum dalam hadis-hadis sahih. Saya senang berdebat mempertahankan paham saya.

Saya selalu menang, sampai saya bertemu dengan Mas Darwan.

Mas Darwan adalah orang yang jauh lebih sederhana dari saya. Mungkin pendidikannya tidak melebihi sekolah dasar. Ia pensiunan PJKA. Usianya boleh jadi sekitar enam puluhan. Tetapi penderitaan hidup membuatnya tampak lebih tua. Pendengarannya sudah rusak. Karena itu, ia sedikit bicara, banyak bekerja. Ia sering memperbaiki rumahku tanpa saya minta. Ia sangat menghormati saya, yang dianggapnya seorang kiyai muda di kampung itu. Padahal ia tahu bahwa saya selalu datang terlambat ke mesjid untuk salat subuh.

Untuk mengisi waktunya, ia mencangkul petak-petak kosong yang terletak di antara rel kereta api di dekat stasiun Kiaracondong. Ia menanaminya dengan ubi. Pada suatu hari, ketika ia asyik mencangkul, kereta api cepat dari Yogya menyenggol belakangnya. Ia jatuh terkapar berlumuran darah. Ketika saya mengunjunginya di kamar gawat darurat, saya mendapatkan tubuh Mas Darwan sudah dipenuhi dengan slang-slang transfusi. Saya melihat matanya mengedip padaku dan pada isterinya. Istrinya mendekatkan telinganya ke mulut Mas Darwan. Saya tidak mendengar apa-apa. Sesaat kemudian, ia menghembuskan nafas terakhir.

Saya pulang dengan sedih dan rasa ingin tahu. Apa gerangan yang dibisikkan oleh Mas Darwan pada detik-detik terakhir kehidupannya?
Pada hari berikutnya, isterinya mengantarkan nasi tumpeng ke rumahku. Saya hampir menolaknya, karena saya tidak suka selamatan kematian yang biasa disebut sebagai tahlilan. Isterinya bertutur, “Pak Kiyai ingat ketika Masku berbisik padaku? Ia berpesan: Bulan ini bulan maulid. Jangan lupa slametan buat Kanjeng Nabi saw.”

Pada saat-saat terakhir, Mas Darwan tidak ingat petak-petak ubinya. Ia lupa isteri dan anak-anaknya. Ia lupa dunia dan segala isinya. Yang diingatnya pada waktu itu hanyalah Rasulullah saw. Kepongahan saya sebagai orang yang mengerti agama runtuh. Mas Darwan tidak banyak membaca hadis atau tarikh Nabi saw. Ia memang buta huruf. Ia hanya mendengar tentang Nabi dari guru-gurunya. Ia tidak mengerti apa bedanya sunah dan bid’ah. Ia hanya tahu bahwa Kanjeng Nabi adalah sosok manusia suci yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Tak terasa airmata menghangatkan pipiku. Saya hanya bisa menyimpulkan apa yang terjadi pada Mas Darwan dengan dua patah kata: Cinta Nabi.

Mas Darwan memiliki kecintaan kepada Rasulullah saw yang jauh lebih tulus dariku. Kemampuanku berdebat habis dibakar oleh api cintanya.
Pesan terakhir Mas Darwan adalah definisi cinta yang paling tepat. “Tidak mungkin cinta didefinisikan secara lebih jelas kecuali dengan cinta lagi. Definisi cinta dalah wujud cinta itu sendiri. Cinta tidak dapat digambarkan lebih jelas daripada apa yang digambarkan oleh cinta lagi,” kata Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Madarij al-Salikin.

Cinta menurut Ibn Qayyim
Cinta tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Tetapi menurut Ibn Qayyim, cinta dapat dirumuskan dengan memperhatikan turunan kata cinta, mahabbah, dalam bahasa Arab. Mahabbah berasal dari kata hubb. Ada lima makna untuk akar kata hubb :
  1. al-shafâ wa al-bayâdh, putih bersih. Bagian gigi yang putih bersih disebut habab al-asnân.
  2. al-‘uluww wa al-zhuhûr, tinggi dan tampak. Bagian tertinggi dari air hujan yang deras disebut habab al-mâi. Puncak gelas atau cawan disebut habab juga.
  3. al-luzûm wa al-tsubût, terus menerus dan menetap. Unta yang menelungkup dan tidak bangkit-bangkit dikatakan habb al-ba’îr.
  4. lubb, inti atau saripati sesuatu. Biji disebut habbah karena itulah benih, asal, dan inti tanaman. Jantung hati, kekasih, orang yang tercinta disebut habbat al-qalb.
  5. al-hifzh wal-imsâk, menjaga dan menahan. Wadah untuk menyimpan dan menahan air agar tidak tumpah disebut hibb al-mâi.

Marilah kita ukur kecintaan kita kepada Rasulullah saw dengan lima hal di atas. Pertama, cinta ditandai dengan ketulusan, kejujuran, dan kesetiaan. Anda tidak akan mengkhianati orang yang Anda cintai. Jika Anda mencintai Rasulullah saw, Anda akan tetap setia kepadanya. Anda tidak akan mencampurkan kecintaan Anda kepadanya dengan motif-motif duniawi. Anda akan memberikan seluruh komitmen Anda.

Rasulullah saw pernah menguji kecintaan sahabat sebelum perang Badar.
Kepada para sahabat dihadapkan dua pilihan: Menyerang kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan atau menyerang pasukan Quraisy. Kebanyakan sahabat menghendaki kafilah dagang karena menyerang mereka lebih mudah dan lebih menguntungkan. Nabi saw menghendaki musuh yang akan menyerang Madinah dan berada pada jarak perjalanan tiga hari dari Madinah. Tuhan berfirman, “Dan ingatlah ketika Allah menjanjikan kepadamu dari kedua kelompok, yang satu untuk kamu, tetapi kamu menginginkan yang tidak mempunyai senjata untuk kamu. Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan kalimat-Nya dan menghancurkan pusat kekuatan orang-orang kafir.” (QS. Al-Anfal; 7).

Rasulullah saw bersabda: “Tuhan menjanjikankepada kalian dua pilihan – menyerang kafilah dagang atau menyerang pasukan Quraisy” Abubakar berdiri, “Ya Rasulallah, itu pasukan Quraisy dengan bala tentaranya. Mereka tidak beriman setelah kafir dan tidak akan merendah setelah perkasa.” Beliau menyuruh Abu Bakar duduk, seraya berkata, “Kemukakan pendapatmu kepadaku.” Umar berdiri dan mengucapkan pendapat sama seperti pendapat Abu Bakar. Rasulullah saw pun menyuruhnya duduk kembali.

Kemudian Miqdad berdiri, “Ya Rasul Allah, memang itulah Quraisy dan bala tentaranya. Kami sudah beriman kepadamu, sudah membenarkanmu, dan kami bersaksi bahwa yang engkau bawa itu adalah kebenaran dari sisi Allah. Demi Allah, jika engkau memerintahkan kami agar kami menerjang pohon yang keras dan duri yang tajam, kami akan bergabung bersamamu. Kami tidak akan berkata seperti Bani Israil kepada Musa – Pergilah kamu bersama Tuhanmu, beperanglah kalian berdua, kami akan duduk di sini saja. Tetapi kami akan berkata: Pergilah engkau bersama Tuhanmu, berperanglah dan kami akan berperang bersamamu.”

Wajah Nabi saw bersinar gembira. Beliau mendoakan Miqdad. Beliau juga meminta pendapat Anshar, kelompok mayoritas yang hadir di situ. Berdirilah Sa’ad bin Mu’adz: “Demi ayah dan ibuku, ya Rasul Allah, sungguh kami sudah beriman kepadamu, membenarkanmu, dan menyaksikan bahwa apa yang engkau bawa itu adalah kebenaran dari Allah. Perintahkan kepada kami apa yang engkau kehendaki... Demi Allah, sekiranya engkau perintahkan kami untuk terjun ke dalam lautan, kami akan terjun ke dalamnya bersamamu. Mudah-mudahan Allah memperlihatkan kepadamu yang menentramkan hatimu. Berangkatlah bersama kami dalam keberkahan dari Allah.” Berangkatlah Rasulullah saw bersama sahabatnya meninggalkan kota Madinah untuk menyongsong musuh yang bersenjata lengkap. Pada waktu itulah turun ayat, “Sebagaimana Tuhanmu mengeluarkan kamu dari rumahmu dengan kebenaran, walaupun sebagian dari kaum mukminin membencinya.” (QS. Al-Anfal; 5).

Sikap Miqdad dan Mu’adz menunjukkan cinta setia mereka kepada Rasulullah saw. Mereka segera menangkap kehendak kekasihnya – Rasulullah saw - dan mereka mengesampingkan tujuan-tujuan duniawi demi membahagiakan Nabi saw yang dicintainya. Di dalamnya juga ada tanda kedua dari cinta, yakni pengutamaan kehendak Rasulullah saw di atas kehendak dan keinginan mereka.

Abdullah bin Hisyam bercerita, “Kami sedang bersama Nabi saw. Ia memegang tangan Umar bin Khaththab. Umar berkata: Ya Rasul Allah, engkau lebih aku cintai dari apa pun kecuali dari diriku sendiri. Nabi saw berkata: Tidak. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, belum sempurna iman kamu sebelum aku lebih kamu cintai dari dirimu sendiri. Umar berkata lagi: Sekarang memang begitu demi Allah. Sungguh engkau lebih aku cintai dari diriku sendiri. Nabi saw bersabda: Sekaranglah, hai Umar.”

Ali bin Abi Thalib ditanya: Bagaimana kecintaan kalian kepada Rasulullah saw? Ia menjawab: Demi Allah, ia lebih kami cintai dari harta kami, anak-anak kami, orangtua kami dan bahkan lebih kami cintai daripada air sejuk bagi orang yang kehausan. Kebenaran ucapan Ali itu dibuktikan dalam peristiwa Uhud. Kepada seorang sahabat perempuan Anshar diperlihatkan anggota keluarganya yang syahid di situ – ayahnya, saudaranya, dan suaminya. Ia bertanya: “Bagaimana keadaan Rasulullah saw?” Orang-orang menjawab: “Ia baik-baik saja, seperti yang engkau sukai.” Ia berkata lagi: “Tunjukkan beliau kepadaku supaya aku pandangi beliau.” Ketika ia melihatnya, ia berkata: “Sesudah berjumpa denganmu, ya Rasul Allah, semua musibat kecil saja!”

Atau ketika Zaid bin Al-Datsanah ditangkap oleh kaum musyrikin. Sambil tidak henti-hentinya menerima penganiayaan dan siksaan, ia diseret dari Masjidil Haram ke padang pasir untuk dibunuh. Abu Sofyan berkata kepadanya: “Hai Zaid, maukah Muhammad kami ambil dan kami pukul kuduknya, sedangkan engkau berada di tengah keluargamu?” Zaid melonjak, seakan-akan seluruh kekuatannya pulih kembali. Ia membentak: “Tidak, demi Allah. Aku tidak suka duduk bersama keluargaku sementara sebuah duri menusuk Muhammad.” Kata Abu Sufyan: “Aku belum pernah melihat manusia mencintai seseorang seperti sahabat-sahabat Muhammad mencintai Muhammad.”

Kecintaan kepada Rasulullah saw seperti ditampakkan oleh Zaid adalah tanda puncak keimanan. Nabi saw bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kamu sebelum aku lebih dicintainya daripada anaknya, orangtuanya dan semua manusia.” Beliau hanya menegaskan apa yang difirmankan Tuhan: Katakanlah, jika orang tua orang tua kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, isteri-isteri kalian, kaum kerabat kalian dan kekayaan yang kalian usahakan, perdagangan yang kalian takutkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian senangi lebih kalian cintai dari Allah dan rasul-Nya dan dari jihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang fasik (QS. Al-Tawbah; 24).

Jika pencinta telah mendahulukan Rasulullah saw ketimbang siapa pun dan apa pun, hatinya akan selalu terpaut kepadanya. Secara jasmaniah ia ingin selalu berdekatan dengan Nabi saw, memandang wajahnya, dan menikmati kehadirannya. Secara ruhaniah, hatinya tidak dapat melepaskan diri dari kenangan kepadanya. Inilah tanda cinta yang ketiga - tidak mau berpisah atau jauh dari kekasih, al-luzûm wa al-tsubût.

Di Madinah pernah tinggal seorang pedagang minyak. Setiap pagi, sebelum berangkat ke warungnya, ia singgah dulu di halaman rumah Nabi saw. Ia menunggu sampai junjungannya muncul. Dengan penuh cinta ia memandang wajah Nabi saw yang mulia. Pada suatu hari, ia datang. Seperti biasa ia memuaskan hatinya dengan memandang wajah Rasulullah saw. Setelah itu, ia pergi ke tempat kerjanya. Tidak lama kemudian ia balik lagi. Ia mohon izin untuk memandang beliau sekali lagi. Setelah puas, ia berangkat ke pasar. Selama seminggu setelah itu, Rasulullah saw tidak pernah melihatnya lagi. Ketika beliau menanyakan perihal dia kepada para sahabatnya, beliau mendapatkan jawaban bahwa ia sudah meninggal seminggu sebelumnya. Rupanya itulah pertemuan terakhir antara dia dengan Nabi saw. Untuk orang itu, Rasulullah saw bersabda, “Karena kecintaannya kepadaku, Allah mengampuni dosa-dosanya.”

Seorang laki-laki Anshar datang menemui Nabi saw. Ia mengadu, “Ya Rasul Allah, aku tidak tahan berpisah darimu. Jika aku masuk ke rumahku, lalu aku ingat dikau, aku tinggalkan harta dan keluargaku. Aku lepaskan kerinduanku dengan memandangmu. Lalu, aku ingat pada hari kiamat. Pada hari itu, engkau dimasukkan ke surga dan ditempatkan di tempat yang paling tinggi. Bagaimana aku, ya Nabi Allah? Beliau tidak menjawab. Tidak lama setelah itu, turun ayat: Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugrahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi, para shidiqin, orang-orang yang syahid dan orang-orang saleh, dan alangkah baiknya berteman dengan mereka. (QS. Al-Nisa; 69). Begitu ayat ini turun, Nabi saw memanggil lelaki itu, membacakan kepadanya ayat itu dan memberikan kabar gembira kepadanya. Ia dijanjikan bahwa ia akan digabungkan dengan Rasulullah saw. Di sana, ia tidak akan berpisah lagi dari Nabi saw. (Bersambung)

Dikutip dari buku “Merindukan Muhammad”, Jalaluddin Rakhmad , Penerbit Rosda.

Keutamaan zikir

Di antara ayat-ayat al-Quran, firman Allah Ta’ala :
“Maka berzikirlah (ingatlah) kepadaKu, niscaya Aku akan mengingati kamu sekalian…..” (al-Baqarah: 152)
"Berzikirlah (ingatlah) kepada Allah dengan zikir yang banyak.” (al-Ahzab: 41)
"Mereka yang berzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri duduk dan sedang berbaring.” (al-Imran: 191)
“Dan apabila kamu telah selesai menunaikan sembahyang maka berzikirlah kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan sedang berbaring.” (an-Nisa’: 103)
Berkata Ibnu Abbas: Maksud ayat di atas, hendaklah seseorang itu berzikir kepada Allah pada malam hari dan siangnya, di daratan dan di lautan ketika dalam pelayaran dan di dalam keadaan kaya dan miskin, sakit dan sihat, sama ada dengan suara rendah (dalam hati) mahupun dengan suara keras yang didengar oleh ramai.
Allah berfirman: “Berzikirlah pada Tuhanmu dalam dirimu (hatimu) dengan penuh perasaan rendah hati dan takut dan bukan dengan suara keras di waktu pagi dan petang dan janganlah engkau sampai dikira orang-orang yang lalai.” (al-A’raf: 205)
Dalam ayat yang lain, Allah menegur manusia terhadap sikap orang-orang munafik: “Mereka itu tiada mengingati Allah melainkan sedikit sekali.” (an-Nisa: 142)
Di antara Hadis-hadis yang membicarakan hal-hal ini ialah: “Berfirman Allah azzawajalla: Aku sentiasa bersama hambaKu selagi ia mengingatiKu, dan selagi kedua belah bibirnya bergerak-gerak (kerana berzikir kepadaKu).”
Sabda Rasulullah s.a.w.: “Barangsiapa yang ingin bersenang-senang di dalam taman-taman syurga maka hendaklah ia memperbanyakkan zikir Allah azzawajalla.”
Apabila Rasulullah s.a.w ditanya: Mana satu amalan yang paling utama sekali?, beliau lalu menjawab: “Yaitu apabila engkau menghadap maut sedangkan lidahmu lembut berzikir kepada Allah azzawajalla".
Sabda Rasulullah s.a.w.: “Telah berfirman Allah Tabaraka Ta’ala. Andaikata hambaKu mengingatiKU dalam dirinya, niscaya Aku akan mengingatinya di dalam diriKu. Andaikata dia mengingatiKu di hadapan orang ramai, niscaya Aku akan mengingatinya di hadapan orang ramai yang lebih baik dari kumpulannya. Andaikata dia mendekatiKu sejengkal, niscaya Aku akan mendekatinya sehasta.”
Dari kata-kata atsar pula, berkata al-Hasan: Zikir itu ada dua macamnya: Berzikir kepada Allah azzawajalla di antara dirimu dan antara Allah azzawajalla. Alangkah baiknya ini dan besar pula pahalanya. Dan lebih utama dari itu ialah berzikir kepada Allah s.w.t pada ketika Allah mengharamkan sesuatu kepadanya.
Keutamaan majlis zikir.
Berkata Rasulullah s.a.w. “Tiada sesuatu kaum pun yang duduk di dalam satu majlis sedang mereka berzikir kepada Allah azzawajalla, melainkan para Malaikat berkerumun di sisi mereka dan rahmat akan mencucuri mereka, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka kepada sesiapa yang ada di sisinya.”
Keutamaan bertahlil.
Bersabda Rasulullah s.a.w. “Seutama-utama ucapan yang saya katakan, begitu juga para Nabi yang sebelumku ialah: Laa Ilaha Illallahu Wahdahuu Laa Sayariikalah (Tiada Tuhan melainkan Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya),”
Bersabda Nabi s.a.w lagi: “Barangsiapa mengucapkan: Laa Ilahaa Illallahu Wahdahuu Laa Syarikalah, Lahul Mulku Walahul Hamdu Wahuwa ‘Alaa Kullu Syai’in Qadir (Tiada Tuhan melainkan Allah, yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya kepunyaanNya segala kerajaan dan bagiNya segala kepujian dan dia Berkuasa atas segala sesuatu) setiap kali 100 kali Pahalanya sama seperti pahala memerdekakan 10 hamba sahaya, dan dicatatkan baginya 100 hasanah (keabaikan) dan dipadamkan daripadanya 100 saiyi’ah (keburukan).”
Keutamaan tasbih, tahmid dan zikir-zikir lain.
Bersabda Rasulullah s.a.w: “Barangsiapa membaca subhaanallah selepas setiap sembahyang 33 kali, dan membaca Alhamdulillaah 33 kali dan membaca Allahu Akhbar 33 kali, kemudian mencukupkan bilangan 100 dengan Laailaha Illallaahu Wahdahu Laa Syarikalah, Lahul Mulku Walahul hamdu Wahuwa ‘Alaa Kulli syai’in Qadir diampunkan dosa-dosanya.”
Rasulullah s.a.w bersabda lagi: “Barangsiapa yang membaca: Subhaanallahi Wa Bihamdhi sehari 100 kali akan dileburkan segala kesalahan-kesalahannya.”
Bersabda Rasulullah s.a.w: “Sebaik-baik pertuturan kepada Allah Ta’ala empat: (1) Subhaanallah, (2) Alhamdulilaah, (3) Laa Ilaha Illallaah, (4) Allaahu Akbar. Tidak ada halangannya untuk memulakan yang mana satu dari empat itu terlebih dulu.”
Dalam sabda lain, Rasulullah s.a.w. menyatakan: “Dua kalimah yang ringan disebutkan oleh lidah, tetapi amat berat dalam timbangan, juga amat dicintai oleh yang Maha Pengasih yaitu: (1) Subhaanallaahi Wa Bihamdihi
(2) Subhaanallahil ‘Azhiim.”

Rahasia Keutamaan zikir
Sekiranya ada berkata: Mengapa zikir kepada Allah itu, meskipun amat ringan disebutkan oleh lidah dan amat ringan disebutkan oleh lidah dan amat mudah untuk dilakukan, menjadi lebih utama dan lebih berfaedah dari berbagai-bagai ibadat yang lain yang lebih berat dan sukar melakukannya.
Ketahuilah bahwa untuk mentahkikkan (menerangkan) perkara ini tidak sempurna, melainkan dengan ilmu mukasyafah (ilmu penyingkapan). Tetapi di dalam ilmu mu’amalah tentang tingkatan zikir kepada Allah s.w.t. bahwasanya zikir yang menginggalkan kesan dan yang berfaedah ialah zikir yang dilakukan dengan tetap dan berterusan dengan hati yang hadir.
Adapun berzikir dengan lidah sedangkan hati lalai tidaklah memberikan apa-apa kesan atau faedah, malah ditetapkan bahwasanya kehadiran hati dengan mengingati Allah s.w.t selalu atau pada kebanyakkan waktu ialah lebih dipentingkan dari segala ibadatnya, bahkan dengannya jugalah dapat dijamin terpeliharanya seluruh peribadatan; dan yang dinamakan buah atau hasil dari peribadatan amaliah.
Dan bagi zikir itu ada permulaannya dan ada pula pengakhirannya. Permulaannya menimbulkan kelapangan dalam diri serta kecintaan dan pengakhirannya yakni sesudah dilakukan zikir itu berkali-kali dan menjadi kelazimannya pula, dia akan merasakan ketenangan, kesenangan dan kecintaan diri untuk senantiasa berzikir. Itulah peringkat yang harus dituntut dalam berzikir.
---------------------------------------------------------------------------­-----
INTISARI KITAB Mau'izhatul Mu'minin min "IHYA' ULUMIDDIN" ==Hujjatul Islam Al Imam Al Ghazali== (Bimbingan Mu'min dari Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama)

Kenali-lah Allah

Nabi bersabda dalam sebuah hadits: "Kenalilah Allah saat kamu senang, niscaya Dia akan mengenalimu saat kamu sedang susah." (HR Ahmad, Tirmidzi, Hakim dan Baihaqi)

Hadits ini merupakan petikan dari sebuah hadits panjang yang dikemukakan saat Ibnu Abbas membonceng di belakang Rasulullah SAW yang mengendarai keledainya. Beliau bersabda kepada Ibnu Abbas yang saat itu menjelang usia remaja dan belum memahami apa yang akan dilakukan oleh Allah terhadap dirinya. Rasulullah pun menggunakan kesempatan yang baik lagi jarang ini (untuk mulai mendidiknya). Untuk itu, beliau bersabda: "Hai anak muda!" Ibnu Abbas menoleh dan mendengar apa yang akan disabdakan kepada dirinya dengan penuh perhatian lalu beliau bersabda: "Hai anak muda! sesungguhnya aku (Rasulullah) akan mengajarkan kepadamu beberapa pesan berikut: peliharalah Allah, niscaya Dia akan memeliharamu; peliharalah Allah, niscaya engkau akan menjumpai-Nya dihadapanmu; kenalilah Allah saat senang, niscaya Dia akan mengenalimu saat kamu susah; apabila kamu meminta, mintalah kepada Allah; dan apabila kamu meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu umat sepakat untuk memberi manfaat kepadamu dengan sesuatu, mereka tidak dapat memberikan manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditaqdirkan oleh Allah atas dirimu. Seandainya mereka sepakat untuk menimpakan bahaya kepadamu, niscaya mereka tidak dapat menimpakan bahaya kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditaqdirkan oleh Allah atas dirimu. Qalam telah diangkat dan lembaran telah kering." (HR Tirmidzi dengan sanad yang berpredikat shahih)

Alangkah indahnya hadits ini!
Alangkah besarnya wasiat ini!
Alangkah agungnya pembicaraan ini!

Kemarilah bersama dengan kami, wahai manusia, untuk mengamalkan seruan yang dianjurkan oleh Rasulullah saat beliau mengajarkan kepada mereka bagaimana mereka harus mengenal Allah saat senang agar Allah balas mengenal mereka saat mereka sedang susah, Ini merupakan sunnatullah pada makhluk-Nya yaitu bahwa barang siapa yang mengenal Allah pada waktu senang, Allah akan mengenalnya pada waktu susah. Hal inilah yang didambakan oleh orang-orang yang shalih, baik yang terdahulu maupun yang sekarang, juga para nabi dan orang-orang yang berada di bawah mereka tingkatannya, yaitu senantiasa memohon agar Allah memelihara mereka saat mereka dalam kesulitan.

Ibrahim AS mengatakan sebagimana yang disitir oleh firman-Nya: "dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahan-kesalahanku pada hari kiamat" (QS Asy-Syu'araa (26): 82)
Saking berharapnya kepada rahmat Allah, Ibrahim lupa akan jerih payah dan pengorbanannya dan dia lupa kepada amal-amal sholih yang telah dilakukannya dan menganggap dirinya sebagai seorang yang berdosa: "dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahan-kesalahanku pada hari kiamat." (QS Asy-Syu'araa (26): 82).

Ibrahim menjalani hidupnya dengan senang hati seraya memelihara Allah tetap dalam kalbunya saat-saat manusia berpaling dari-Nya. Dia senantiasa menghadapkan dirinya kepada Allah dengan mengesakan-Nya, cenderung pada agama yang hak lagi berserah diri, dan dia sama sekali bukan termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.

Manusia bersujud menyembah berhala, sedang Ibrahim sujud menyembah Allah. Manusia bergantung kepada berhala-berhala, sedangkan Ibrahim hanya bergantung pada Allah. Manusia menyucikan khurafat, sedangkan Ibrahim menyucikan Allah. Mereka menyalakan api besar untuk membakar Ibrahim setelah dia masuk menemui Raja Namrudz yang pembohong lagi pendusta.

Ibrahim mengatakan: "...Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan... " (QS Al Baqarah (2) : 258). Tiada yang dapat menghidupkan dan mematikan selain hanya Allah, tiada yang mengetahui apa yang terdapat di dalam rahim , kecuali hanya Allah; tiada yang mengetahui apa yang bakal diupayakan oleh seseorang besok pagi, kecuali hanya Allah; dan tiada yang mengetahui di bumi manakah seseorang akan mati selain dari Allah.

Si pendusta (Namrudz) itu mengatakan dalam jawabannya sebagaimana yang disitir oleh firmanNya: "...Saya pun dapat memghidupkan dan mematikan..."(QS Al Baqarah (2) : 258)
Ibrahim bertanya, "Bagaimana caranya? ". Raja Namrudz itu mengeluarkan dua tahanan lalu ia membebaskan salah seorang darinya dan mengatakan : "orang ini aku hidupkan," dan ia membunuh yang lainnya seraya berkata: "Dan yang ini aku matikan".

Ibrahim tidak menyanggah ketololan ini, karena dia mengetahui bahwa hujjah berikutnya yang akan dilemparkan ke wajah lawannya adalah lebih keras daripada yang pertama dan lawannya pasti tidak akan dapat menyanggahnya. Sesungguhnya ulama ahli manthiq (logika) telah menasehatkan bahwa cara debat seperti yang akan dikemukakan oleh Ibrahim ini merupakan cara yang paling canggih untuk membungkam lawan debat.

Ibrahim mengatakan sebagaimana yang disitir oleh firman-Nya: "...Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari Timur, maka terbitkanlah dia dari Barat, lalu heran terdiamlah orang kafir itu dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim." (QS Al Baqarah (2) : 258).

Mereka mengumpulkan kayu bakar untuk Ibrahim dan menyalakannya dengan apai sehingga menjadi besar. Selanjutnya mereka meletakkan Ibrahim pada ketapel raksasa dan menembakkannya agar jatuh ke tengah apai yang sedang berkobar itu, tanpa teman, tanpa sejawat, tanpa keluarga dan tanpa penolong kecuali hanya Allah.

Maka eratkanlah pegangan tanganmu pada tali Allah yang akan melindungimu karena sesungguhnya tali Allah itu pengaman yang dapat dipercaya manakala semua pengaman tidak dapat diandalkan.

"Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat) yaitu hari yang tidak beguna bagi orang-orang yang zhalim permintaan maafnya dan bagi merekalah laknat dan bagi merekalah tempat tinggal yang buruk." (QS Al Mukmin (40): 51-52).

Ibnu Abbas mengatakan bahwa firman-Nya: "Cukuplah Allah sebagai penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung". (QS Ali Imran (3) : 173)
Kalimat itulah yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim ketika beliau dilemparkan kedalam api besar, maka Allah menyelamatkannya.

Kalimat ini pula yang diucapkan Rasulullah ketika dikatakan kepadanya: "...Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Oleh karena itu, takutlah kepada mereka, maka perkataan itu malah menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, 'Cukuplah Allah sebagai penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung'. Mereka pun kembali dengan nikmat (pahala) dan karunia (yang besar) dari Allah. Mereka tidak tertimpa keburukan (musibah) dan mereka senantiasa mengikuti keridhaan Allah. Allah memiliki karunia yang amat besar." (QS Ali imran (3) : 173-174)

Maka apakah kita mampu mengucapkan "Hasbunallah wa ni'mal wakill" ketika kita ditimpa oleh berbagai macam kesusahan dan kesulitan dan ketika kita melihat kedurhakaan, berbagai macam fitnah, dan kejadian mewabah di kalangan kita? Apakah kita mengatakan hal yang sama? Semua ini dimaksudkan agar kita kembali dengan membawa nikmat Allah dan karunia-Nya, dan kita tidak tersentuh oleh bencana apa pun.

Nabi Ibrahim jatuh kedalam kobaran api, maka api menjadi dingin dan membawa keselamatan berkat karunia Allah, karena dia telah merealisasikan ajaran: "Kenalilah Allah saat kamu senang, niscaya Dia akan mengenalimu saat kamu sedang susah." Jadi, kenapa kita tidak pula merealisasikanya mulai sekarang?

Semoga tulisan ini bisa bermanfaat dan menjadikan cambuk bagi hati kita untuk lebih mengenal Allah SWT, Amin.
(Sumber: Cambuk Hati, karya Dr. Aidh bin Abdullah Al-Qarni, Seri Penyejuk Hati, 2004)

Wali Paidi (Eps.12)

Gus Dur menerima dengan lapang dada isyarah yang ditafsirkan Kiai Rohimi. Gus Dur tidak peduli jika dalam kepimpinanya kelak, akan direcoki ...